aku mengaduh, hingga benar-benar gaduh. Bukan perkara sederhana memilih untuk menjadi seorang fulltime mom, karena itu berarti kau akan kehilangan waktu berekspresi dan berkarya, waktu untuk dirimu sendri, waktu bersama teman-teman, dan kau akan menghabiskan dua puluh empat jam bersamanya, anakmu! Yupp… bukan pilihan yang main-main.(aku akan sangat marah ketika ada pendapat buruk tentang perempuan yang memilih berada di rumah). Karena semua macam emosi akan menampakkan wujudnya, senang-bahagia-kesal-kecewa-marah,dan masih banyak yang lainnya.
Seperti hari ini, aku menatapnya sebal! kelakuannya seharian ini benar-benar menguras emosi. Sedikit saja aku tak memahami maksudnya, maka dia akan menangis keras sambil melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Tingkah lainnya pun tak kalah menjengkelkan, dengan wajah tak bersalah dia pipis sembarangan, padahal biasanya dia akan segera meraih kloset birunya, namun hari ini kencingnya berceceran dimana-mana. Ketika ditegur, ocehannya jauh lebih banyak dibandingkan kalimat yang kukeluarkan, padahal usianya masih jauh dari dua tahun.
Setan-setan berwajah merah segera berkumpul di dalam otakku, saling berdesak-desakkan khawatir tak kebagian tempat. mungkin sirine amarah telah memanggil mereka. Dan penghasutan mereka mulai terdengar, sayup namun begitu pasti terdengar. aku menarik anakku dari tempatnya sedang mengacak-acak mainan, mencubitnya keras lalu melemparkannya ke atas tempat tidur sambil mengeluarkan sumpah serapah.
Aku menggoyang-goyangkan kepala, mengusir setan-setan berwajah merah itu untuk segera pergi. Mereka berhamburan sambil memaki, karena dikeluarkan sebelum misi mereka berhasil dilaksanakan.
***
suara kodok dan jangkrik terdengar bersahutan, angin malam berhembus dengan syahdu. Bintang bertebaran di langit dan rembulan cantik bersinar. Di atas bangku di depan rumah sambil menikmati kunang-kunang yang berterbangan di atas sawah dengan ditemani segelas teh hangat. Keluhku tak henti mengalir untuk diperdengarkan pada lelakiku. Tentang hari yang melelahkan bersama anak kami (tentu dia sudah terlelap saat kami sedang berbincang), tentangnya yang semakin besar semakin keras kepala.
Lelakiku hanya tertawa, dengan wajah menyebalkan seperti biasanya dia sedang menggodaku. Dia menanggapi sederhana keluhanku, tapi tak sesederhana penjabarannya.
siapa sosok yang akan terlihat saat kau sedang bercermin?
Tentu bukan siapapun kecuali dirimu sendiri.
Aku, kamu, kita adalah cermin baginya. Maka dia adalah kita.
***
cermin membawaku ke dalam sebuah ruang refleksi, melucuti satu persatu hatiku hingga mau jujur apa adanya.
mulailah kuamati anakku, bagaimana carany bersikap, melepaskan emosi, berbicara, semuanya. Dan aku seperti berhadapan dengan cermin saat melihat itu dengan lebih rendah hati.
Aku adalah anakku, anakku adalah aku. Tentu dia bercermin padaku, lelakiku, orang dewasa yang bersamanya.
***
perlahan, aku mulai mengubah pola komunikasi. Kapan harus menjadi pendengar dan kapan harus didengarkan. Kapan harus menerima dan kapan harus memberi.
Mengajarkan dia cara mengungkapkan perasaan, apapun rasa yang sedang ada dalam hatinya. Ketika aku marah-kecewa-sedih-bahagia, maka aku akan katakan dengan mengungkapkan alasannya, begitupun dengannya. Atau kami hanya menghabiskan waktu untuk mengobrol tentang teman-temannya di sekolah, berbincang rencana liburan, saling mengkritik, dan masih banyak lagi.
***
ketika seorang teman menanyakan kenapa anakku sangat manis sikapnya, penurut dan mudah diberi pengertian. Maka aku menjawab, aku tak pernah mendidik anakku menjadi penurut, karena itu berarti memaksakan apa yang menurutku baik tapi belum tentu menurutnya baik, anakku tetap memiliki perasaannya kadang dia merajuk, tak bisa diajak kerjasama, menangis, kecewa, sama seperti anak-anak lainnya.
Aku hanya bercermin
Dan mencoba belajar dan terus belajar dari semua proses yang kami jalani
karena dari anak sekecil itupun, kita bisa belajar banyak hal
Penuh cinta, Bunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar