Edisi liburan kali ini, kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah dataran tinggi yang dikabarkan memiliki beragam keindahan alam yang eksotik, selain udaranya yang dingin menggigit, juga pesona alamnya yang luar biasa indah; Dieng. Wah… tak sabar rasanya ingin lekas berada disana.
Sebelum mencapai Dieng, ada beberapa rute perjalanan yang mesti diambil, semuanya menggunakan jasa transportasi bis.
Rute yang akan diambil adalah demikian : bis dari jombor menuju ke terminal magelang, berganti bis yang menuju terminal wonosobo, lanjut dengan angkot kecil menuju pangkalan mini bis yang akan menuju Dieng, dan tibalah di lokasi.
Perjalanan ini tak perlu merogoh kantung terlalu dalam, total pengeluaran cukup lebih kurang empat puluh ribu rupiah per orang.
***
setelah perjalanan yang memakan waktu sekitar lima jam, tibalah kami di Dieng Plateu dan singgah pada sebuah penginapan yang cukup terkenal “Bu Djono”, konon para pelancong menjadikannya tempat favorite untuk menginap atau sekedar singgah sejenak sambil menghilangkan lapar dahaga di restorannya. Tempatnya cukup strategis, tepat di pertigaan dieng. Sehingga mudah dijumpai, harga penginapannya juga tak jauh berbeda dengan penginapan lain yang letaknya lebih jauh, cukup seratus lima puluh ribu rupiah permalam dengan tambahan fasilitas air panas. Emmmm…. Sungguh kehangatan yang sangat dibutuhkan di tempat sedingin ini.
***
lapar tak dapat ditahan, beruntunglah penginapan ini juga menyediakan restoran yang menyediakan aneka masakan yang mengundang selera. Tak diperlukan waktu lama untuk menentukan pilihan.
And this is it, semangkuk sup ayam dengan nasi. Yummy!
Entah karena memang rasanya yang enak atau perut yang sangat kelaparan, menu yang kupesan ini luar biasa nikmatnya. Lidahku serasa bergoyang mengikuti tekstur aneka sayuran pada tiap suapannya, apalagi sup ini tersaji hangat, rasanya seluruh tubuh ikut menjadi hangat dan darah terpompa dengan cepat ke seluruh tubuh. emm… awalnya melihat harga lima belas ribu rupiah untuk semangkuk sup rasanya mahal, namun ketika melihat porsi jumbonya sepertinya sebanding dengan harganya!hehehe terbukti dengan aku tak sanggup menghabiskannya seorang diri:-P
Yah… kalau anakku yang satu ini, lebih seneng makan bareng temen2 barunya, dengan memesan makanannya sendiri dan gak mau disuapin pula:-P
Setelah perdebatan panjang, akhirnya shelo berkenan menggunakan tiga lapis baju dan dua lapis celana panjang dilengkapi dengan topi dan kaos kaki.
Kami pun siap menjelajah, sebelum mentari berpulang.
Lokasi yang kami tuju adalah sebuah candi yang dinamakan candi arjuna sebuah candi dengan nuansa hindu. Dan woww!!! Amazing….
Keindahan karya tangan manusia dipadukan dengan bentangan luas keindahan dataran tinggi dieng karya Tuhan, menjadikannya lukisan alam yang tiada ternilai. terlebih karena saya sangat mencintai candi dan selalu terkagum-kagum dibuatnya.
Rumput hijau nan gemuk seakan mengucapkan selamat datang pada kehadiran kami, dengan memancarkan kesegaran warnanya seakan mengundangku untuk bermesraan dengannya, namun sayang keadaannya yang basah usai diguyur hujan membuatku batal ingin berguling-guling di atasnya.
Mentari tak berapa lama lagi hendak mencapai ufuk barat, membuatku tak leluasa untuk menjelajahi tiap candi dengan seksama, ala kadarnya saja. Padahal rasa hati ingin lebih lama berada disana, menyentuh dan menghayatinya hingga terasa puas.
***
setelah berputar-putar mencari tempat untuk bermalam, akhirnya kami mendapatkan penginapan dengan harga yang lumayan miring, tujuh puluh ribu rupiah-pada beberapa penginapan yang kami singgahi rerata berharga seratus lima puluh ribuan dengan kamar berukuran tiga kali tiga meter, tentu tak cukup untuk kami berlima.
Penginapan ini terletak persis disebelah penginapan Bu Djono yang dikenal dengan nama dieng plateu, memang bukan tempat yang bagus seperti halnya penginapan lainnya, disini tiap kamarnya hanya dibatasi dengan papan sehingga jika bersendau gurau dengan intonasi yang tinggi pasti akan terdengar ke tiap kamarnya. Bahkan saat sudah larut, meski kami berbincang dengan suara yang lirih sekalipun ternyata tetap terdengar hingga ke luar kamar:-P
Beruntung, dari sepuluh kamar yang tersedia yang kebetulan berada di lantai dua, masih ada dua kamar yang kosong. Dan pilihan kami tertuju pada sebuah kamar dengan ukuran tiga kali lima meter, jelas ini bisa muat untuk kami berlima- terlebih pengelola penginapan tak masalah dengan berapa pun jumlah penghuni tiap kamarnya.
Jika khawatir akan kedinginan saat mandi, tenang saja…. Penginapan ini menyediakan layanan air panas, dimana tiap orangnya akan dikenai tambahan biaya sebesar lima ribu rupiah-cukup murah dibandingkan membiarkan tubuh membeku sangking dinginnya. Meski demikian, kami memutuskan tidak mandi saat sore hari dan hanya mengganti pakaian dalam saja!hahaha
***
tak perlu repot-repot untuk mencari santap malam, di depan penginapan telah tersaji berbagai macam kudapan, dari mulai martabak telor, bakso hingga capcay, tinggal pilih mana yang sesuai dengan selera. Lokasi ini merupakan sentra makanan di daerah sini, terbukti banyak para wisatawan dari berbagai penginapan yang singgah disini untuk mengisi perut.
Kamipun pergi ke salah satu warung, dan memesan beberapa makanan antaranya ; nasi goreng, mie goreng dan cap cay beserta nasinya. Untuk bisa menikmati makanan yang kami pesan, kami harus rela antri beberapa menit-maklumlah pembelinya bejibun hingga mesti rela menunggu jika ingin mengecap lezat masakannya.
Saat santap tiba, kebetulan warung sedikit sepi-hanya kami berlima dan satu orang bapak-bapak yang duduk di dalam warung berukuran tiga kali dua meter itu, konon dari cerita sang penjual biaya sewanya masih relatif murah, seratus lima puluh ribu perbulannya. Di dalamnya terdapat meja yang mengitari warung dan juga bangku sebagai temannya. Sedang untuk memasak, penjual menggunakan teras di depan warungnya. tempat yang tak seberapa besar ditemani dengan tungku yang panas milik sang penjual membuat suasana di dalam warung terasa hangat meski di luar sedang gerimis.
***
malam belum seberapa larut, pukul Sembilan-namun dinginnya malam yang ditemani gerimis membuat tidur menjadi pilihan yang terbaik. Bapak gama sudah terlelap lebih awal, meredakan lelahnya setelah seharian terjaga-nyenyak dalam sleeping bed tak jauh berbeda dengan kepompong. Juga Shelo yang berhenti mengoceh saat mulai menetek pada bunda lalu tak berapa lama menyusul bapak ke alam mimpi. Sedang aku, dan dua yang lainnya masih berbincang ngalor-ngidul tanpa topik utama, hingga akhirnya ikut terlelap dalam senyapnya malam.
awalnya, kami ingin ikut serta dalam rombongan teman-teman kaskus yang akan menikmati indahnya sunrise di puncak sikuning, konon keindahannya layaknya negeri di atas awan. Padahal biaya yang dikeluarkan cukup murah, sepuluh ribu rupiah PP (pulang-pergi) dengan menaiki sebuah pick up. Namun, karena jam empat pagi kami sudah harus pergi ditengah dinginnya alam juga karena shelo yang masih kecil membuat kami memutuskan untuk tak ikut serta, terlebih dengan gerimis yag awet tak mau tuntas.
Ternyata pilihan yang kami ambil cukup terpat, mentari hari itu tak begitu bersemangat bersinar-sehingga keelokan negeri di atas awan tak cukup nampak indah seperti biasanya.
***
selepas sarapan dengan menggunakan nasi rames seharga dua ribu lima ratus rupiah dan tempe mendoan sebagai tambahan, tenaga kami pulih kembali. Siap untuk melakukan penjelajahan berikutnya. Lokasi yang dituju adalah danau warna, konon danau ini terdiri dari dari warna hijau dan biru-semakin penasaran untuk menikmatinya.
Dari dieng plateu kami menempuh jarak sekitar 1,5 Km, sebenarnya ada mini bis yang melintas ke arah sana-namun tak mesti datangnya dan cenderung jarang. Sehingga kami terpaksa berjalan kaki. Beberapa kali mencoba menghentikan pick up yang melaju ke arah yang bersamaan selalu saja gagal, akhirnya kami menuntaskan perjalanan ke danau warna dengan berjalan kaki.
Lelah dan berkeringat, terlebih shelo yang enggan berjalan kaki dan memilih digendong bunda. Namun semua terbayar dengan indahnya alam yang masih perawan ini.
ini perjalan terakhir yang mesti kami tempuh, sejauh 2 km dari danau warna menuju ke kawah sikadang. Sebenarnya sebelum menuju ke kawah sikadang, ada sebuah candi bernama Bima yang nampak anggun terlihat namun karena untuk menikmatinya mesti menaiki beberapa tangga yang cukup tinggi membuat kami enggan untuk melongok kesana- cukup menikmati dari luar saja sambil duduk pada anak tangganya guna meredakan lelah.
Setelah lelah reda, kamipun melanjutkan perjalanan. Sepuluh ribu rupiah yang perlu dikeluarkan tiap orangnya untuk menikmati kawah sikadang, namun dengan tawar menawar kami hanya perlu mengeluarkan tiga puluh ribu rupiah untuk lima orang
Penjaga pintu masuk kawah sikadang mengatakan jarak yang akan ditempuh hanya sekitar tiga ratus meter, namun pada kenyataannya beratus-ratus meter lebih jauh, untung ada sebuah pick up yang rela hati untuk ditumpangi- meringankan langkah yang mesti ditempuh.
***
sebelum mencapai ke kawah sikadang, terdapat beberapa kios pedangan souvenir dan makanan-makanan khas dieng seperti manisan carica yang terjaja rapi, juga warung-warung yang menyuguhkan aneka makanan dari gorengan hingga kentang produksi tanah dieng.
Setelahnya kita akan melihat hamparan perbukitan berwarna kuning keemasan, karena memang kawah ini mengandung belerang-sehingga aromanya khas bau belerang, oleh karenanya sebaiknya kita menggunakan masker ketika berkunjung ke kawasan ini. Jikalau lupa membawa masker, jangan khawatir karena para pedagang disini sudah mempersiapkannya pada kios mereka.
Disini juga disediakan beberapa permainan yang bisa disewa, misalnya kuda, AVP atau motor tril. Saya lebih memilih kuda dari yang lainnya, dengan uang sebesar tiga puluh ribu rupiah kita akan diantarkan pergi menuju ke kawah sikadang dan kembali lagi darinya.
Dengan Shelo yang duduk di depan, kamipun menyusuri jalan menuju kawah sikadang bersama Mas Tito sang pemilik kuda. Dari ceritanya banyak informasi yang kami dapatkan, misalnya tentang kawah yang letaknya berpindah-pindah, sehingga pinggiran kawah tak pernah di beri perlindungan yang pakem hanya sebuah bambu yang disusun mengitari kawah, hal itu juga yang menyebabkan banyaknya jumlah orang yang melakukan bunuh diri di kawah tersebut, konon menurut ceritanya mas Toto ini sudah hampir delapan kali mengais tubuh korban yang menceburkan dirinya ke dalam kawah. Entah benar atau tidak ceritanya, namun saya benar-benar merinding melihat kawah sikadang dari dekat, terlebih letaknya yang tak seberapa dalam dengan permukaan tanah. Tak nampak jelas warna cairannya, karena kepulan asap tebal mampu menghalangi pandang, namun bisa dikatakan cairan tersebut berwarna kehitaman, dia menari-nari liar seakan hendak melahap apapun yang berada di dekatnya, bisa dipastikan suhunya lebih dari dua ratus derajat celcius.
Berkali Mas Toto menawarkan untuk membawa kuda yang kami tumpangi melangkah lebih dekat menjangkau kawah, namun tawaran itu kutepis karena rasa khawatir jika kuda tiba-tiba mengamuk, bisa-bisa tubuh kami melayang masuk kedalam air mendidih dalam kawah sikadang:-P
***
kawah sikadang menutup perjalan kami di dataran tinggi dieng, saatnya kembali ke kota budaya. Lelah tak lagi tertahan namun pesona alam dieng mengisi penuh hati kami dengan kepuasaan rohani dan mengantar perjalanan kami pulang.
yogyakarta, 18 januari 2012