Gadis cilikku hampir genap dua tahun, gigi-gigi putih mulai penuh mengisi gusinya.. begitu rapih terlihat, apalagi ketika tawanya keluar lepas. Cericaunya pun semakin tak bisa dihentikan, apalagi kosakatanya semakin bertambah banyak. Apapun yang dilihat akan ditelaah dan dikomentarinya. Namun sayang gadis cilik lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman kami, aku dan lelakiku. Terlebih di kompleks perumahan tempat kami tinggal minim teman sebayanya, jikapun ada anak-anak itu jarang bermain di luar, begitupun dengan gadis cilik yang lebih senang bermain di rumah.
Mungkin dia merasa nyaman dengan orang dewasa, karena akan selalu mengalah dan menuruti apa yang dia pinta. Sedangkan dengan teman sebaya, tentu dia akan berkonflik. Hal ini berimbas dengan sulitnya gadis cilik berbaur dengan teman sebayanya, dia lebih senang mengamati teman-temannya yang sedang bermain dari jauh, dan jika hendak mendekat selalu memintaku untuk menemani.
***
jelas ini membuatku berfikir keras, kebiasaan kami membawanya berbaur dengan orang dewasa, ikut kegiatan-kegiatan yang nyaris tak ada anak kecilnya tanpa diimbangi dengan mengajaknya berbaur dengan teman sebanyanya, merupakan sebuah dosa besar dalam mendampinginya tumbuh dan berkembang. Jelas kami melanggar haknya sebagai anak. Karena tempat yang tepat baginya untuk belajar bagi anak seusianya adalah bersama teman sebayanya, karena dia akan tumbuh sebagaimana anak seusianya, dan dia akan belajar dari konflik yang terjadi, rebutan mainan-berbagi-menolong sesama, bisa menempa mentalnya untuk menjadi lebih baik dan peka terhadap lingkungan. Dibandingkan tumbuh tanpa menghadapi konflik sama sekali.
Mulailah ku mencari sekolah untuknya, dengan bersekolah tentu dia akan memiliki lebih banyak teman, dibandingkan hanya di rumah bersamaku. Tak jauh dari rumah ada sebuah sekolah, kesanalah gadis cilik ku ajak serta (baca : http://aksaranurul.blogspot.com/2011/11/shelo-first-trial-day-school.html)
***
Melihat gadis cilik dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan bank pertanyaan yang tak ada habisnya, ketertarikannya untuk mengamati hal yang tak umum lalu menelaahnya, sifatnya yang terkadang manja, pemarah, juga sikapnya yang tertutup pada lingkungan baru dan kehati-hatiannya yang tinggi membuatku selektif untuk memilih sekolah, jelas aku tak ingin gurunya melabelinya dengan kata “nakal” saat dia tak bisa diajak kerjasama atau menyebutnya “cerewet” saat dia tak puas dengan jawaban yang diberikan. Aku tak ingin ada orang yang mengatakan demikian diusianya yang sedang ingin menjelajah dan ingin tahu banyak hal, karena akupun tak pernah mengatakan demikian (meski jengkel tak dapat dipungkiri:P).
Maka aku seperti kembali ke masa silam, mengenang sebuah buku yang membekas dalam hatiku. “Totto-chan” karya Tetsuko Kuroyanagi tentang seorang gadis cilik yang memiliki rasa ingin tahu yang besar dan dianggap nakal oleh Bu Guru. Dan buku “sekolah itu candu” karya Roem Topatimasang.
Aku mengindamkan sebuah bentuk sekolah seperti dalam tulisannya.
***
setelah enam bulan masuk dalam daftar tunggu, maka telphon yang ditunggu tibalah. Suara kepala sekolah dengan ramah mengabarkan bahwa gadis cilik bisa bergabung di sekolah mereka. Maklum sekolah semi alam ini diminati oleh banyak orang, sehingga bagi yang tertarik harus rela menunggu hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Padahal aku sudah membulatkan hati untuk mendaftar esok hari di sekolah yang membuat gusi gadis cilik berdarah, namun telphon itu membuatku lega dan bahagia.
Karena aku tahu disanalah gadis cilikku akan menemukan atmosfir yang sesuai denga karakternya.
***
ketika kau masuk ke dalam gerbang sekolah, maka pepohonan rimbun akan menyambutmu ramah. angin sepoy-sepoy, kerindangan alam yang mampu meredakan teriknya mentari.
Aku seperti menemukan karya roem disini, sebuah sekolah tanpa bangunan. Anak-anak belajar di alam bebas dengan kesejukan yang dipersembahkan oleh alam bukan dari kipas angin ataupun AC. Mereka belajar dalam bangunan semi permanen dengan atap yang disusun dari daun pohon kelapa. berlari-larian tanpa alas kami menginjak tanah dengan riangnya.
Tak ada seragam disini, karena anak-anak bebas memilih pakaian yang disukai begitu pula dengan alas kaki, apapun diijinkan-bahkan sendal jepit:P
***
tentu dalam sekolah yang baik, terdapat guru-guru yang luar biasa di dalamnya. Maka aku sangat bersyukur karena Tuhan mempertemukan gadis cilikku dengan mereka. Guru-guru yang dengan penuh kesabaran mendampingi gadis cilik menjadi lebih baik tiap harinya, dari mulai mengajarinya agar berani berjalan di titian, maen spider web, berbaur dengan teman-teman saat bermain, berbagi mainan.
Guru-guru yang dengan penuh kasih dan cintanya menemani anak-anak belajar sambil bermain, sehingga tiap hati yang suci bisa menangkap sinyal ketulusan itu. Yang membuat gadis cilikku kecanduan bersekolah.
“bunda, hari aku sekolah kan?”
jika hari sabtu dan minggu tiba, maka hati gadis cilik tak sabar menanti hari senin untuk kembali bersekolah. bahkan disaat sakit pun tetap memaksa untuk sekolah:)
Sekolah yang dibangun bukan karena rupiah, tapi karena kecintaan pada anak-anak.
terimakasih Bu dan Pak Guru.
penuh cinta, Bunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar