Tampilkan postingan dengan label story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label story. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Januari 2013

Nalu

Nalu anak perempuanku, hampir tiga hari ini tubuhnya demam. entah berapa derajat, yang kutahu rasanya seperti menyentuh air yang hampir mendidih. panas bukan kepalang.
dia meringkuk seperti kucing kedinginan, menahan sakit yang menyiksa. tak ada suara, padahal biasanya meski sedang sakit, cericaunya tak jua mau berhenti. tapi kini dia bisu.
berbagai merek obat pereda panas dari warung telah diminumnya tak bersisa. namun tak kunjung reda.
makin lama, justru makin tak keruan. tubuhnya menggelinjang kesetanan acap kali air mengeluarkan kencing. tangisnya meledak memekakan telinga.
bertambah gelisah, esok paginya kuajak ke puskesmas. diantar becak yang dikayuh ayahnya. antrian panjang membuat nalu makin abu, menahan sakit entah dibagian mana. dia masih juga bisu. sedang aku begitu kosong utuk menebak-nebak. pikirannku hanya setinggi tumpukan baju-baju kotor milik para tetangga yang mesti kuselesaikan. yang lain aku tak tahu.
tiba giliran. Dokter bertanya banyak hal. akupun menjawab sebanyak yang aku bisa. sebab nalu tak jua mau bersuara.
aku duduk termangu, menyaksikan Nalu terbaring pada ranjang putih di puskesmas. seorang perawat nampak membantu Dokter melakukan pemeriksaan.
***
"vaginanya koyak dan busuk!" hanya kalimat itu yang mampu terekam dalam pikiranku. dari panjangnya penjelasan Dokter yang memmbuat dahiku berkerut dan makin berkerut tiap kali mendengar kata-kata medis nan rumit.
petir menyambar dalam dadaku, darah mendidih mengalir ke sekujur tubuh. aku sesak nafas, dan kehilangan kemampuan menghirup oksigen. air mata tumpah dengan segala serapah.
dokter dan perawat coba menenangkan, menepuk-nepuk pundak untuk menguatkan. namun aku telah menggila,berteriak histeris dan bertanya tak percaya pada Tuhan. bagaimana mungkin vagina sebelas tahun bisa busuk dan koyak? gerangan siapakah manusia berhati iblis yang tega melakukannya?
seketika kupeluk tubuh Nalu yang meringkuk menahan sakit. aku menangis, Nalu menangis, Dokter menangis, perawat menangis dan ruangan pun ikut menangis.
***
aku bergidik, mengingat kembali kejadian malam pertama pernikahan yang kulalui. penis yang telah mengeras menghujam vagina, mengalirkan setrumannya hngga ke punggung. nyeri, perih, merobek segala yang dilalui. membekas dan tak segera hilang.
lalu bagaimana dengan Nalu? vaginanya baru sebelas tahun. namun seorang iblis bertubuh manusia telah mengoyak dan menyisakan busuk yang parah.
siapakah dia? katakan padaku!
biarku potong penisnya hingga habis tak bersisa, lalu kulemparkan pada anjing-anjing yang kelaparan.
keparat!
***
Nalu makin melemah. sudah dua hari lepas dari puskesmas dia terbaring tak berdaya di rumah sakit. tubuhnya dipenuhi jarum dan selang.
aku dan ayahnya hanya bisa duduk pasrah menunggunya. roh kami berkelana, melayang ke segala penjuru hendak mencari pelaku biadab.
***
nafasnya kini tersengal-sengal. ditatapnya wajahku dan ayahnya bergantian. Nalu terlihat sangat cantik hari ini, wajahnya putih bersih. dia tersenyum serupa bidadari, lalu menutup mata. padam!
aku menangis, ayahnya menangis. kami memeluk tubuh nalu bersamaan. merasakan hangat tubuhnya yag terakhir kali, sebelum akhirnya menjadi sedingin es.
***
vagina oh vagina.
aku bahkan tak begitu mengenalmu.
melihat rupamu saja aku tak pernah.
menyebut namamu saja aku tabu.
namun, Nalu ku yang malang telah pergi karena memilikimu. padahal umurnya baru sebelas.
dan aku akan terus mencari, iblis bertubuh manusia itu hingga mati!
demi Naluku, dan nalu-nalu lain di dunia ini.
noel
yogyakarta, 10 januari 2013

Rabu, 18 Januari 2012

Ibukota suguhkan banyak cerita

Bukan Jakarta namanya jika tak menyimpan segundang cerita. Kota yang selalu mengundang daya tarik yang tinggi bagi semua masyarakat di negeri tercinta ini dari aceh hingga papua, semua insani berbondong-bondong hijrah ke kota yang makin hari makin sumpek terasa. Tak pandang bulu, segala lapisan masyarakat berhasrat besar untuk dapat menginjakkan kakinya di ibukota. Tak hanya untuk singgah sejenak namun juga untuk dapat menetap dan mendapatkan rupiah dari kota yang tak ramah ini.
Terlebih banyaknya sinetron-sinetron yang menggambarkan nikmatnya hidup di kota metropolitan, sebuah hidup penuh dengan mimpi yang akan berakhir bahagia. Si miskin yang akan ditaksir oleh orang kaya dengan segala konflik yang tercipta antara manusia berhati jahat dan berhati baik, penuh dengan air mata namun selalu bisa ditebak akhirnya, yaitu kebahagiaan. Jika penikmatnya masih banyak, bukan hal yang mustahil jika akan ada lanjutan hingga beberapa jilid. Dari mulai dia lahir sampai akhirnya punya cucu. Wow! Panjang bukan? Namun entah mengapa penggemar sinetron tak surut-surut juga, termasuk Ibuku yang selalu sudah siap dihadapan layar TV jika sinetron favoritenya akan tayang. Yah… cerita dalam sinetron seakan membius banyak orang, bahwa Jakarta akan membawa kebahagiaan dan kekayaan.
fyiuhh… Jakarta-jakarta, kota yang tak pernah surut menuai perkara, dari pelecehan terhadap perempuan yang masih marak, larangan merokok di ruang publik yang diabaikan, tentang operasi yustisi yang nyatanya tak juga mengurangi para pendatang tiap tahunnya, tentang banjirnya yang dari tahun ke tahun tak kunjung ada pembenahan yang konkrit, dan tentu masih banyak cerita lainnya yang tak usai diceritakan dalam semalam.
***
Juga cerita yang satu ini, dari pinggiran Jakarta sebelah timur. Tepatnya kampung susukan.
Sebuah kampung yang dekat dengan terminal kampung rambutan, dimana Jika dikalkulasikan banyaknya rumah yang dibangun di kawasan ini, maka bisa dipastikan enam puluh persennya merupakan petakan a.k.a kontrakan. Dengan bentuk yang beragam, para pencari rumah kontrakan dapat menentukan pilihan dengan leluasa, tentunya disesuaikan dengan isi kantong. Ada yang dibayar bulanan atau langsung tahunan.
Selain bangunan kontrakan yang khas didirikan berderetan layaknya kos-kosan, ada juga rumah warga yang disulap menjadi setengah kontrakan-maksudnya penghuni rumah meningkat rumahnya sehingga pada lantai dua dipergunakannya sebagai kontrakan.
***
malam semakin larut, jalan-jalan mulai sepi dari kendaraan-meski masih nampak satu dua orang terlihat masih bercengkrama di pos ronda dalam selimut asap rokok yang mengepul lewat mulut mereka dan tak lupa segelas kopi yang tinggal beberapa kali sruput saja.
tidurlah minah pulas di samping anaknya, yang baru berusia delapan bulan, sedang tetek dibiarkan terbuka tak sempat ditutup sebelum mata terpejam. Suaminya tak kalah pulasnya, bahkan telah mengorok dengan intonasi tak beraturan.
Hujan baru saja usai, udara dinginnya membuat lelah terasa hilang dalam lelapnya tidur. Gerombolan tikus mulai melakukan operasinya, menyusup ke lorong-lorong got atau masuk ke dalam rumah warga yang terdapat lubang menganga pada rumahnya.
Rumah minah yang berukuran tiga kali Sembilan meter itupun tak luput dari serangan tikus yang kelaparan, maklumlah pintu dapur rumahnya yang sudah tua mulai berlubang dimakan rayap. Berapa kalipun diganjal, toh nyatanya tikus-tikus itu jauh lebih pintar dari minah dalam urusan menyelinap.
***
minah terperanjat ketika mendengar suara gelas plastik di dapurnya yang berisi air jatuh menghantam ubin rumah, pasti ulah tikus-tikus got pikirnya dalam hati. Namun, minah justu kaget bukan kepayang ketika disadarinya bukan tikus got yang sedang menggerayangi rumahya, namun sesosok lelaki tak dikenal!
Minah langsung terduduk dari tidurnya, dan mereka saling bertatapan, minah sadar teteknya masih berada diluar sangkarnya-segera dimasukkannya. Minah tak kuasa membangunkan suaminya yang semakin berisik dengan suara ngoroknya, padahal tubuhnya gemetaran sangking takutnya, khawatir si pencuri melakukan hal yang tak diinginkan. minah hanya berkata dengan suara lirih, bahkan mungkin lebih keras suara jantungnya yang berdetak.
“ngapain lo masuk ke rumah gw? Gak ada apa-apaan”
minah merasa miris, melihat radio kreditan yang belum lagi lunas berada dalam tangan lelaki tak dikenal itu.
“cari rumah lain aja” lanjut minah dalam suara yang semakin lirih.
Lelaki itu hanya diam mematung, namun mata mereka masih saling bertatapan. Akhirnya, setelah hening yang lumayan memakan waktu hingga lima menitan itu, lelaki tersebut langsung meletakkan radio kreditan yang belum lunas dan bergegas keluar dari rumah minah.
***
minah yang merasa shock dengan peristiwa yang baru dialami, langsung menangis tersedu. Namun itu tak cukup bisa membangunkan suaminya. Sangking kesal pada lakinya yang hobi ngorok itu, ditendang-tendangnya tubuh suaminya-hingga sang empunya merasa terkaget dan terbangun, dengan muka linglung menatap istrinya yang duduk tersedu-sedu.
“ngapain lo nangis malem2, abis liat setan?”
“yaeleh bang,… makanya kalo tidur jangan kayak orang mati! Barusan ada maling masuk tau!”
“apa? Mana malingnya? Mana? Biar gw tempeleng sini!” suami minah langsung bangun dari tidurnya dan bergaya layaknya si pitung.
“akh… dasar loe bang, telat! Udah pergi lagi malingnya!”
“nah… koq bisa, emang lo apain tu maling?”
belum sempat minah menjelaskan, bayi delapan bulannya menangis mencari puting untuk dihisap. Tak berapa lama, mereka pun ikut pula tertidur bersama malam yang dingin. Bersama pikiran minah yang tak habisnya berpikir terhadap ulah si maling yang memilih rumah kontrakan usang yang ditempatinya untuk mencari barang jarahan.
Dasar, maling goblok!
yogyakarta, 17 januari 2012

Kamis, 05 Januari 2012

saya (pun) mengalaminya

Tulisan ini saya buat sekitar tiga tahun yang lalu, bersamaan dengan kehamilan saya yang memasuki bulan ketiga. Wow… ini kesempatan yang luar biasa, menjadi salah satu penulis dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh PKBI DIY yang bertajuk “Memecah Kesenyapan. Suara-suara perempuan yang tak terucap”.
Sebuah buku yang ditulis oleh enam orang penulis yang bercerita tentang pengalaman para perempuan yang secara sadar dan tanpa paksaan memutuskan untuk tidak melanjutkan KTD (kehamilan tidak diinginkan).
***
Senja tiba saat saya berkesempatan berjumpa dengan narasumber tulisan saya yang kebetulan merupakan seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahunan dengan aksen Sumatra barat yang khas. Rambut hitam ikal terurai sampai sebahu dalam balutan daster merah marun.
Diteras rumahnya, Bu Dina (bukan nama sebenarnya) membuka warung dengan aneka masakan padang yang menggugah selera. Pembelinya tak henti-hentinya berdatangan, satu usai yang yang lain akan datang lagi silih berganti. Membuatku sedikit kesusahan untuk berbicang nyaman dengannya-maklumlah pembicaraan ini menyentuh pada soal keputusannya untuk tidak melanjutkan KTD yang dialaminya. volume suara kuusahakan selirih mungkin, cukuplah ditangkap Ibu Dina-karena masih ada beberapa pembeli yang asyik menyantap makanannya.
Banyak hal yang kudapatkan darinya, tentang demam malarianya, hipertensi, preklamsia, cytotek, oxitoxin, hingga keputusannya untuk tidak melanjutkan KTD. Semua teramu menjadi sebuah keberanian yang tak begitu saja turun dari langit.
***
Lepas dari Bu Dina dalam kemelut hatinya saat mengambil keputusan untuk mengakhiri KTD, aku seperti bercermin dengan diri sendiri. saat hasil testpack yang kulakukan hingga tiga kali dengan beragam merek tespack dari yang termurah hingga termahal dimana tetap saja menunjukkan dua garis merah yang tebal. membuat emosiku sangat tak stabil, CMV (citomegalo virus) yang entah sedang berada dalam kadar berapa dalam darahku membuatku bias dalam merasakan hal membahagiakan ini, sebuah anugrah terindah yang diciptakan Tuhan dalam gua garbaku. Mulanya aku hanya senyum-senyum dihadapan cermin sambil mengoyang2kan testpack, lanjut dengan tawa tak percaya sambil menari-nari tak beraturan, dan diakhiri dalam tangis yang menyayat hati. Tuhan, begini rasanya jika banyak rasa sedang bermain dalam hati, bagai bisul yang tak kunjung matang.
Aku bimbang, jelas ini sebuah kenyataan yang nyaris enggan aku hanyalkan karena takut tak terwujud, namun ketika dihadapkan pada semua realita yang tak lagi mimpi- justru membuatku meriding. Jikalau virus itu sedang merajai tubuhku seenak udelnya sendiri pastinya akan mempengaruhi kualitas bakal anakku.
Entah akan mengalami keguguran, meninggal dalam kandungan atau terlahir tidak seperti orang kebanyakan. Aku menangis sejadinya-jadinya membanyangkannya, meski baru lima minggu umurnya saat kusadar akan hadirnya namun sudah begitu cinta aku padanya, tak sabar ingin memeluk dan menimangnya.
Namun, ada sebuah kenyataan lain yang tak bisa aku hempaskan begitu saja-kenyataan pahit tentang CMV dalam tubuhku.
dalam hangat pelukan kekasih, seakan meredakan gejolak hati yang tak jelas arahnya, dengan sadar dan tanpa paksaan aku memutuskan untuk mengahiri kehamilan jikalau hasil lab menyatakan jumlah virusnya dalam kadar yang berbahaya bagi janinku. Sungguh keputusan yang sulit, meskipun dalam kasusku bukan merupakan KTD.
***
hasil lab menunjukkan hal yang luar biasa menakjubkan, kehamilanku dapat diteruskan. Sujud Syukur padamu ya Rabb….
Minggu demi minggu berlalu dengan penuh gairah, semakin hari makin dapat kurasakan kehadirannya-hentakkan kakinya, detak jantungnya-saat cegukannya-pergerakan tubuhnya-semuanya adalah surga ragawi yang indah.
Hingga akhirnya minggu ke tiga puluh enam tiba dan kakiku mendadak membesar tiga kali lipat besarnya-saat dipencet maka tak bisa timbul lagi layaknya orang yang terkena beri-beri. Tekanan darah pun naik-naik ke puncak gunung hingga mencapai 200/100. Benar-benar tersiksa, untuk buang kecilpun terpaksa kulakukan berdiri karena kaki tak bisa ditekuk sama sekali, berjalan beberapa langkah saja sudah terasa melelahkan dan kesemutan, shalat pun kulakukan sambil rebahan. Yup… aku terkena Preklamsia, bagai petir di siang hari kenyataan ini semakin menghimpit hatiku di minggu-minggu akhir jelang kelahiran. Ketakutan akan kehilangan anakku di penghujung penantian terasa begitu mengoyak batinku, tak henti-hentinya mengharapkan keajaiban.
Untuk mengurangi resiko baik pada ibu dan bayi maka Caesar adalah pilihan yang tepat, karena dikhawatirkan kejang saat sedang mengejan dan bisa berakibat kematian baik pada ibu, bayi atau keduanya.
Lalu saya teringat dengan Ibu Dina, narasumber tulisan yang saya beri judul “HIPERTENSI dan MALARIA”, saya menuliskan tentang preklamsi yang dialaminya dan ternyata saya pun mengalaminya.
yogyakarta, 5 januari 2012

Kamis, 10 November 2011

anak kali, anak ciliwung (part II, end)

Uut namanya, gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus berwarna merah jagung (entah karena terbakar matahari atau kekurangan gizi). Tubuhnya kurus, kulit menutupi tulang-tulangnya yang pelit daging dengan pasrah.Meskipun kami seumur, tapi tinggiku sejengkalan lebih tinggi darinya. Rambutku cepak gaya demi more (selain trend, juga karena rambutku yang keriting lebih berdamai jikalau pendek), kulitku pun sawo matang. Berbeda dengannya tubuhku lebih berisi, sekel kata ibuku kiasan bagi tubuh yang kecil namun berisi dan padat sehingga tak terlihat gemuk.
Uut adalah teman pertamaku di bantaran ciliwung.Dia selalu mengikuti apapun tingkahku, kemanapun aku pergi-dia selalu turut di belakangku.Layaknya bayangan yang saling tak terpisahkan.Ocehanku selalu didengar bagaikan kebenaran yang hakiki, padahal lebih sering hanya hayalanku belaka.Tapi dia mendengarkanku dengan seksama dan penuh perhatian.Baginya kata-kataku adalah dongeng yang mendamaikan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa dia tetap betah bermain denganku, meski terkadang bila judesku sedang kumat, aku akan membentak-betaknya seenak udelku sendiri.
Misalnya :jika dia hendak mengajakku bermain, namun hatiku sedang tak enak (tanpa alasan yang jelas). Maka aku tak akan menanggapi panggilannya, padahal dia sudah mengetuk pintu rumah berkali-kali, hingga menempelkan wajahnya di jendela agar bisa melihat langsung ke dalam rumah dan menatap mukaku yang sedang masam.
“genduk…genduk… ayo, main yuk” ajaknya dengan lembut
“arrrgggghhhh……. Jangan sentuh-sentuh kaca rumahku! Jauh-jauh! Ga usah ketok-ketok pintu, aku udah denger dari tadi!” hardikku dengan muka yang semakin masam, sambil memberi isyarat dengan tangan agar dia tak menempelkan wajah dan tangannya pada kaca rumahku.
Setajam apapun ucapan yang kulontarkan, namun uut senantiasa bersamaku, bila samblengku sedang tak kumat.betapa kasih sayangnya diriku padanya. Bila perutku menggunung begitupun dengan dirinya, setiap aneka rasa makanan yang kukecap pasti akan terasa juga hingga ke lidahnya.
***
Siang itu, semua semua orang tengah menikmati waktu rehat siangnya dengan menyantap rakus makan siang yang telah disiapkan oleh pasangan masing-masing di rumah, dilanjutkan dengan merebahkan tubuh dengan malas sambil menikmati pertunjukkan pada televisi.
Berlarian-larianlah aku di lapangan bersama Uut, berkejar-kejaran antara satu dengan yang lainnya, sambil tertawa terbahak karena Uut selalu tak kuasa menandingiku. Namun tawa itu, tak lama lenyap takkala kami terperanjat menyaksikan kabel pada tiang listrik mengeluarkan api yang cukup besar, menjilat-jilat liar kesana kemari seakaan tengah dilanda kelaparan.
Dengan panik kuberteriak sekencang-kencangnya memanggil Ibu untuk mengabarkan, namun yang dipanggil menganggap hanya bualan anak kecil. Hingga akhirnya aku semakin histeris dan orang-orang mulai berkeluaran, penasaran mencari kebenaran atas apa yang kuucapkan. Namun terlambat, karena api telah berubah kian besar dan semakin liar. Ibu yang tersadar bahwa teriakanku bukan bualan, langsung berlari meraihku yang masih kaku dalam tangisan di tengah lapangan lalu menggendongku, bapak terlihat panik berteriak-teriak sambil mengumpulkan barang-barang-begitu pula dengan simbah putri yang tak kalah sibuk sambil menangis histeris. Ibu terus menggendongku sambil menenangkan tangis ketakutanku.Dalam lalu lalang orang yang panik, kulihat Uut diseret ibunya yang tengah menggendong adiknya. Mata kami saling bertemu, dalam genangan air mata. ternyata itu kali terakhir aku berjumpa dengannya, padahal belum sempat kuucapkan maap atas perilakuku yang sering kurang menyenangkan padanya, padahal belum sempat kusampaikan padanya bahwa aku menyanyanginya, lahapan api mendahului semuanya, membakar dan menguburnya menjadi abu.
Akupun berdiri lemah dipingir jalan, melihat dari kejuhan kampungku-rumahku dilahap api.
Lunglai tak berdaya dalam balutan singlet lusuh dan celana pendek.Dalam lelah dan perut keroncongan karena belum sempat terisi.
“bu… aku lapar”
“sabar ya nduk.. ibu gak ada duit, semuanya hangus terbakar”
“aku lapar bu…” tangiskupun pecah, beriringan dengan adzan magrib yang mendayu-dayu.
tentang masa lalu di kali ciliwung, tempat pertama di ibukota yang kupijak. Kini tempatku pernah tinggal telah berubah fungsi menjadi bagian ibukota yang gemerlap. Kemana penduduknya pergi, aku tak tahu..mungkin kali ciliwung juga telah lupa bahwa tubuhku pernah bercinta dengannya beberapa kali bila hujan deras tiba dan menyeret tubuhku dalam pusarannya, kenikmatan yang dipadu dalam ketakutan. kisah itu berakhirlah sudah, bersama api yang lahap menelan semua kenangan.
yogyakarta, 8 november 2011

Rabu, 28 September 2011

anak kali, anak ciliwung (part 1)

Kali ciliwung,
Sudah beberapa waktu silam, jauh sebelum aku pandai mengingat. Namun menebar aroma kerinduan, membuatku berkenan hati untuk memutar kembali memori yang tersisa, sudah usang-berdebu dan hampir hilang. Namun ingin kumunculkan lagi. Dimulai dengan sayup-sayup azan magrib yang terdengar mendayu-dayu dikejauhan mengingatkan umatnya. Dalam pekatnya pandangan karena tertutup asap tebal dan mentari yang beranjak pulang, dalam deruan isak tangis keputusasan dan keprihatinan. Disana ada aku, bercelana pendek dan berkaus kutang, ikut terisak. Kelaparan dan kelelahan.
Tak ingat betul berapa usiaku saat itu, ketika Ibu dan Bapak memutuskan untuk membawaku serta mengadu nasib di Jakarta. Padahal aku lebih menyukai tinggal di desa, disana banyak hal yang membuatku senang meskipun tanpa ibu dan bapak bersamaku. Salah satunya pertandingan bola antar kampung yang selalu menjadi jadwal tetapku saban hari sabtu untuk menontonnya. Pakde Bambang yang selalu setia mengantarku, karena kedekatanku dengannya, akhirnya aku memanggilnya Bapak. Bagaimana tidak dekat, dia memperlakukanku layaknya anaknya sendiri, dari mulai makan hingga menyeboki saat berak. Bahkan saat pernikahannya aku merajuk habis-habisan, mengamuk sejadi-jadinya, karena tidak rela “Bapakku” akan diambil orang. Untuk meredakan tangisanku yang memekakkan telinga, akhirnya aku diminta untuk ikut duduk di pelaminan, berada di tengah-tengah antara Pakde Bambang dan Istrinya. Sehingga ada beberapa tamu undangan yang menyangka Pakde Bambang seorang duda :-P
Selain karena aku merupakan anak pertama, pun juga dikarenakan aku tidak berkenan memanggil ibu dan bapak kepada orangtuaku saat mereka mengunjungiku dari Jakarta, melainkan memanggil dengan sebutan Mbak dan Mas, menyebabkan mereka semakin mantap membawaku serta ke Jakarta. Pada awalnya, aku tak kerasan tinggal di Jakarta. Kerjaanku saban harinya hanya menangis sekencang-kencangnya dan memohon untuk dipulangkan ke desa. Dan tangisku akan semakin memuncak apabila hari sabtu tiba, karena hobi menonton bola pupus lantaran jarak yang begitu jauh. Padahal bapakku sudah kerap kali mengajakku menonton acara bola serupa di Jakarta, namun tak juga melegakan hatiku. Inginku hanya satu, pulang ke desa. Bermain bersama teman-teman sepermainan di sawah, menjelajahi sungai, mengumpulkan kecebong, bermain lumpur, nawu dan mengumpulkan ikan wader sebanyak-banyaknya. Ah.. indahnya hidup di desa. jauh berbeda dengan Jakarta. ***
di Jakarta kami tinggal bersama mbah putri dari ibu. Beliau berjualan di pasar rumput. Sebuah pasar tradional di bilangan manggarai. Simbah memiliki sebuah lapak berukuran tiga kali tiga meter. Rupa dagangannya beragam dari mulai bawang merah hingga ke sayuran, pepak kalau kata orang jawa. Dagangan Simbah selalu laris manis, membuat kualahan ketika dijalankan seorang diri sehingga orangtuaku kala itu membantu usaha dagang simbah. Untuk istirahat kami tinggal di bantaran sungai Ciliwung, letaknya bersebrangan dengan pasar rumput tempat simbah berdagang. Rumah-rumah disini merupakan bangunan tingkat semi permanen, karena setengahnya hanya kayu saja. Rumah tersusun saling menempel satu dengan yang lainnya. Gang pemisah antar rumah yang berhadapan hanya berjarak dua tubuh orang dewasa. Hal ini membuat antrian panjang setiap jamnya, apalagi bila ditambah anak-anak kecil yang sedang bermain lari-larian.
Tak jauh berbeda dengan yang lainnya, rumahku juga tingkat semi permanen. Tinggi rumah sekitar empat meteran, pada lantai dua hanya berpondasikan kayu-kayu yang kemudian ditututup dengan triplek setebal satu sentimeter. Hal ini membuatku harus berhati-hati saat melangkah, sepelan apapun langkahku pasti akan menimbulkan bunyi menderit yang menakutkan, sungguh khawatir jika roboh tiba-tiba. Namun Ibu tak bosan-bosannya menjelaskan padaku bahwa kekhawatiranku terlalu berlebihan, tapi tetap saja tak mengurangi rasa takutku.
Jarak yang berdekatan antar rumahnya, membuat kami bisa mendengar percakapan yang terjadi di rumah yang bersebelahan apabila mereka sedang terlibat pertengkaran dengan mengeluarkan suara sekencang-kencangnya, atau sedang terbahak-bahak entah karena obrolan yang jenaka atau tontonan televisi. Dalam ingatanku yang sangat berbatas, susunan rumah terdiri dari dua lorong jalan, di setiap lorongnya terdapat sekitar sepuluh rumah yang saling berhadapan. Sehingga terdapat dua puluh rumah dalam dua lorongnya. Lorong-lorong itu akan menuju pada tanah kosong sebesar lapangan bulu tangkis yang dipagari rumah-rumah penduduk lainnya, jumlahnya sekitar sepuluh rumah. Sedangkan dibalik rumah-rumah tersebut terdapatlah ciliwung. Pada bantaran sungai daerah bermukimku, dibuatlah tangga yang menjorok ke bawah-anak tangganya berjumlah sekitar lima belas, ini memudahkan penduduk yang ingin berkeperluan dengan ciliwung. Disiapkan pula panggung kecil (cukup untuk sekitar delapan orang dewasa dan lima anak kecil) yang tersusun dari balok-balok kayu untuk memudahkan mencuci atau mandi. Bila hujan mengguyur daerah kami, maka panggung kecil dan tangga akan leyap dari penglihatan. Tertutup ciliwung yang sedang kepayahan menahan muatan yang berlimpah, yang tak jarang akan memuntahkan muatannya pada dareah pemukiman. Kelak ibuku akan panik mencariku karena leyap ditelan ganasnya ciliwung disaat hujan.
Untuk kepentingan berak, telah disedikan pula sebuah panggung yang terdiri dari tiga bilik triplek berbetuk bujur sangkar dengan lubang pada tengah-tengahnya. Jarak antar bilik sekitar satu tubuh orang dewasa, dan tingginya hanya sedada orang dewasa ketika berjongkok. Kondisi ini membuat para pengguna kakus bisa menikmati sensasi pengeluaran hasil ekskresi sambil mengobrol dengan tetangga sebelah kakusnya. Guna keperluan cebok, para pemakai kakus biasanya membawa air sendiri dalam ember atau jikalau sudah kebelet dan tak sempat membawa ember biasanya mereka membersihkan anus yang masih belepotan di panggung guna mandi, karena toh hasil ekskresi itu tak butuh untuk disentor, karena arus air akan membawanya pergi dengan sendirinya. Letak kakus ini hanya berjarak sekitar sepuluh langkah orang dewasa dari tempat mandi. Sehingga suasana saat mandi atau mencuci sangatlah meriah, bukan hanya karena celotehan yang sahut menyahut tapi karena sampah yang berseliweran juga hasil ekskresi yang mengapung-ngapung pasrah mengikuti aliran sungai. ***
sebagai pemula, aku cenderung murung. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama simbah di pasar (maklum beliau sangat memanjakan aku, pada beliaulah aku selalu meminta perlindungan tiap kali dimarahi bapak atau ibu). Tempat favoritku adalah kotak uang simbah yang terbuat dari kayu jati berukuran tiga puluh kali tiga puluh sentimeter. Disanalah aku duduk bagaikan putri raja dengan tangan yang selalu terlipat di depan dada, siapapun yang berkebutuhan untuk memasukkan atau mengambil uang harus dengan persetujuanku. Namun bila aku berkebutuhan dengan uang (berapapun jumlahnya) tak perlu meminta persetujuan siapapun, karena simbah tak pernah melarangku dan selalu mengamini berapapun yang kuambil asalkan jelas hendak dibuat apa.
Yang demikian itu sering membuat ibuku marah, baginya tak baik bagi anak kecil apabila terlalu dimanja dan selalu dituruti apa maunya. Alhasil ibu selalu mencubitku bila aku kelewatan sering megambil uang simbah untuk jajan, tentu saja hukuman itu dilakukan saat simbah sedang tidak di tempat atau aku akan menangis histeris sampai sesegukan untuk meminta perlindungan simbah, tujuannya jelas-agar ibu dimarahi simbah!hehehe Kebaikan simbah yang dinilai berlebihan terhadapku ternyata telah mengundang iri bagi saudara sepupuku yang lain. Akhirnya ibu melarangku terlalu sering pergi ke pasar. Juga melarangku duduk di kotak uang simbah. Alhasil aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah, ini membuatku mengenal lebih dalam tempat tinggalku sekarang, bantaran ciliwung.
bersambung....