Kamis, 03 Oktober 2013

menyusu dada bunda...

Kau tau apa rasanya ketika seorang bayi mungil berwajah malaikat berada dalam pelukanmu, dengan bibir merah strawberry, dan tubuh yang menyeruakkan aroma khasnya. Dia menggeliat, memainkan mulut dan lidahnya mencari aerola untuk segera disesap. Sebelum tangisnya pecah, dengan sigap dan sepenuh hati kau akan memuaskan dahaganya.
Itu yang sedang terjadi padaku, memandangi bayi mungil seberat 2700 gram yang sedang menyusu pada dadaku dengan nikmatnya. Melihatnya melawan kantuk tapi masih ingin terus menyesap, pemandangan yang lucu dan menyenangkan.
***
Bisa jadi diluaran sana ada beberapa yang mencemooh karena aku memilih menyusui anakku, bukan hanya eksklusif 6 bulan, namun hingga dia mencapai genap dua tahun (kenyataannya baru berhasil menyapih pada usia 2 tahun 8 bulan:p).
bagi mereka, sangat ironis seorang yang memahami wacana gender namun mau membebani dirinya sendiri dengan beban tambahan, menyusui!. Akhh… biarlah, semua orang berhak berpendapat, pun dengan diriku. Bukankah dengan menyusui aku juga sedang melawan konstruksi tubuh perempuan? Karena praktis payudara akan membesar, bisa dua kali lipatnya atau lebih. Atau bajumu akan basah dengan rembesan air susu yang deras mengalir. Dan bukankah aku juga sedang melindungi organ reproduksiku sendiri, karena Rahim akan lebih cepat pulih dengan proses menyusui.
menyusu dan menyusui adalah hak ibu dan anak, bukan kewajiban.
Tak ada yang memaksaku, semua adalah pilihanku sendiri, ini tubuhku-milikku sendiri, aku lah yang berdaulat atasnya. aku memiliki hak atasnya. Apa yang orang pikir, aku tak peduli!
***
karena dukungan banyak pihak, dengan lancar aku terus bisa menyusui anakku. dengan menyusui kumerasakan lebih tenang dan damai, meski lelah tak dapat ditolak. Lambat laun kecemasanku mulai berkurang, urat syarafku tak setegang biasanya. Tuhan melindungi bayiku dari virus cmv dan rekan-rekannya. Dia tumbuh sesuai dengan perkembangannya. Dan ASI begitu luar biasa melindungi anakku dari penyakit. Selama 6 bulan ASI eksklusif dilalui nyaris tanpa sakit. Berat badan dan tingginya pun tumbuh dengan seimbang.
Lalu dia mulai menjelma menjadi teman kecilku, yang selalu antusias mendengarkanku bercerita. Dengan mulut menyesap dada penuh semangat dan mata bidadari yang menatapku tajam, mendengarkanku dengan seksama. Cinta kami terpaut dari pandangan mata, kami mulai mendalami perasaan masing-masing dan mengukur berapa besar kadar kecintaan yang kami miliki. Dia bisa merasakan detak jantungku yang berdebar saat sedang menyusuinya, debaran cinta suci yang kekal. Dan aku juga bisa merasakan kenyamanannya saat kudekap.
Sebuah moment yang tak bisa diputar ulang, namun bisa dituliskan.
***
Penuh cinta, Bunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar