Minggu, 11 Desember 2011

celana dalam berwarna merah

Sebagai seorang anak perempuan yang terlahir pada tahun delapan puluhanan tepatnya delapan puluh tiga, mendapatkan menstruasi pertama pada saat kelas enam Sekolah Dasar masih merupakan kejadian yang langka. Di kelasku yang memiliki jumlah murid perempuan sebanyak tiga puluh anak saja hanya didapatkan tiga orang yang sudah menstruasi, termasuk saya.
Di lingkungan rumah, sama saja. Bahkan mereka yang lebih tua tiga sampai empat tahun saja masih banyak yang belum menstruasi. Secara tidak langsung, ini cukup mempengaruhi secara psikis terlebih minimnya informasi yang kudapatkan mengenai menstruasi. Yang ada, rasanya maluuuuuuu banget dan gak PeDe gara-gara kebanyakan temen-temen belum mens.
Rasa malu yang berlebihan, karena mengganggap bahwa menstruasi adalah darah kotor yang menjijikkan, terlebih pada waktu itu belum umum anak kelas enam Sekolah Dasar mengalami menstruasi, menyebabkan penderitaan yang mendalam bagiku selama seminggu pada saat liburan sekolah di kampung halaman.
###
Keluarga besar simbah kakung dari pihak bapak memang rutin mengadakan kumpul keluarga atau lebih dikenal dengan trah setiap tahunnya. Lokasinya berpindah tiap tahunnya, kebetulan tahun ini rumah simbahku yang di Boyolali kedapatan sebagai lokasi trah.
Nah… sebagai perwakilan bapak dan ibu yang sibuk bekerja, akhirnya aku yang diutus untuk pulang kampung, ikut kumpul keluarga sekaligus menikmati masa liburan sekolah.
Akupun berangkat dengan riangnya, sudah cengar-cengir sendiri membayangkan bebasnya alam pedesaan, hendak melakukan banyak hal yang tak bisa kutemukan di Jakarta. Namun bayangan keceriaan gugurlah sudah saat kusadar bahwa tamu tak diundang telah hadir di celana dalamku dengan bercak merah kecoklatan. Padahal itu hari pertama ku tiba di kampung, harusnya aku senang dan bisa tertawa lepas, namun justru kesuraman yang menghiasi wajahku.
Jelas aku malu untuk mengatakan pada mbah putri atau bulek-bulekku yang lain, terpaksa aku pendam dalam hati saja. Beruntung dalam sebuah lemari kutemukan sebungkus pembalut tak bertuan. Isinya tinggal delapan biji, tapi lumayanlah dari pada tidak sama sekali.
Seperti biasanya mens pada hari pertama hingga ketiga (bagiku) adalah saat-saat darah begitu deras keluar dari mulut rahim. Ini menyebabkan harus seringkali berganti pembalut agar nyaman dan tidak tembus ke celana. Alhasil jumlah delapan pembalut yang ada hanya bisa kugunakan selama dua hari saja, padahal darah masih juga deras mengalir.
Rasa malu berlebihan yang kemudian melahirkan rasa takut yang dalam, membuatku sangat tak berdaya, bahkan untuk ke warung guna membeli pembalut saja begitu berat kulakukan. Jadilah hari ketiga kulalui tanpa menggunakan pembalut meski darah masih ramai menghiasi celana dalamku.
Fyiuhh…. Rasanya panas bukan main, darah-darah itu membuat kulitku terasa melepuh dan berhasil membuat lecet selangkangan juga membuatku terpaksa berjalan dengan kaki yang sedikit mengangkang, hal ini kulakukan untuk meredakan rasa nyeri yang begitu menggigit di daerah selangkangan. Dan semua orang menegur caraku berjalan, selain karena mengangkang juga lebih lelet ketika berjalan.
Dengan kondisi demikian, aku berpura-pura shalat tiap waktunya-juga pergi ke masjid untuk mengurangi kecurigaan. Bila malam tiba, saat yang paling menggelisahkan, aku tak pernah bisa tenang merebahkan tubuh padahal rasanya cape bukan main, masalahnya aku khawatir darahnya akan mengotori tempat tidur.
Huh! Rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya atas derita yang kualami, dan berharap Tuhan berkenan membuat waktu lebih cepat berlalu agar segeralah usai proses peluruhan dinding rahimku.
Seminggupun berlalu, beruntung mensku juga sudah berakhir. Namun lecet diselangkangan tak lantas ikut pergi. Esok hari kami kembali lagi ke Jakarta, meski tanpa banyak kenangan indah yang kuukir namun kubersyukur pada Ilahi, aku pulang ke rumah- kembali kepangkuan ibu.
Itu ceritaku, kamu?
Yogyakarta, 29 nopember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar