Senin, 07 November 2011

tiga perempuan,satu impian (part II)

Dilan namanya seorang sahabat sejak pertama aku kuliah di Jogja. Waktu pernah memisahkan kami, aku yang sok sibuk menjadi penggiat sosial dan dia yang sibuk menyelesaikan skripsi lalu meneruskan program profesi-membuat kami jarang berjumpa seperti sedia kala, apalagi setelah lulus profesi dia memutuskan kembali ke tanah kelahiran, Palembang.
Sahabat datang dan pergi silih berganti, begitulah adanya- tak ada yang abadi, tapi beruntung kami masih berjodoh untuk dipertemukan kembali. Pernikahannya dengan seorang laki-laki asal magelang seakaan memanggil dirinya kembali untuk menginjakkan kakinya lagi di pulau ini, apalagi kebetulan suaminya sudah diterima menjadi abdi Negara di daerah Purworejo.
***
Dan cerita ini kudapatkan dari mulutnya, tentang perempuan-perempuan yang begitu mendambakan seorang janin tumbuh dalam rahim mereka, termasuk Dilan sahabatku.
Dilan dan dua orang teman perempuannya merupakan bagian dari budaya kebanyakan, melihat kelahiran seorang anak dalam sebuah pernikahan adalah hal yang wajib bisa dihadirkan untuk dipersembahkan bagi pasangannya sebagai bukti kesempurnaan sebagai seorang perempuan.
Sudah hampir setahun menjelang, belum juga ada pertanda kehidupan dalam rahim Dilan. Padahal segala jurus jitu dalam bercinta telah dilakukan, berbagai macam gaya bahkan menciptakan gaya baru pun telah ditempuh, namun tak cukup mampu membuat pertemuan antara sel telur dan sel sperma berjalan dengan lancar. Selalu gagal, dengan hadirnya menstruasi yang rutin saban bulannya.
Dalam kelelahan menunggu, pasangan ini akhirnya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan ke Dokter. hasil USG dan pemeriksaan letak rahim menunjukkan hasil yang baik-baik saja, juga tes kesuburan sperma yang dilakukan suaminya pun menunjukkan hasil yang serupa. Berdasar pada hasil keduanya, Dokter mengatakan agar tak lelah berusaha.
Tak puas dengan hasil secara medis dan guna mencari second opinion, pergilah mereka ke seorang tukang pijat refleksi. Dari sana didapatkan hasil yang belum detail dijelaskan secara medis. Ditemukan pada salah satu saluran indung telur Dilan mengalami penyempitan, hal ini ditandai dengan flek-flek yang terjadi pada awal menstruasi. Sedangkan pada suaminya ditemukan bahwa pola duduk yang terlalu lama menyebabkan kualitas sperma yang tidak optimal.
Dilan cukup beruntung, pasangannya bersedia melakukan serentetan prosedur pemeriksaan baik secara medis maupun alternatif. Perihal belum datangnya si jabang bayi, diserahkannya pada kuasa Ilahi dengan tanpa lelah berusaha dan berdoa.
***
sebut saja namanya ella. Sekasus dengan Dilan yang hampir satu tahun menikahbelum juga menunjukkan pertanda kehadiran jabang bayi. Berbagai rangkaian pemeriksaan organ reproduksi pun telah dilakukan dengan komplit oleh pasangan ini. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kualitas sel sperma suaminya tidak cukup baik, lebih banyak didapatkan sperma yang “mati” dibandingkan yang “hidup”. Hal tersebut mengharuskan suaminya mengkonsumsi aneka obat-obatan hormonal yang mesti diminum setiap hari.
Background keluarga suami Ella yang kebanyakan adalah orang medis, membentuk pola pikir bahwa obat adalah dewa bagi segala macam penyakit yang ada pada diri manusia, tanpa mau menoleh sedikitpun pada tekhnik tradisional atau penggunaan herbal.
Padahal sejauh saya belajar mengenai ilmu kefarmasian, penggunaan obat yang digunakan secara terus menerus bukanlah pilihan yang bijak. Pada prinsipnya obat (juga) merupakan racun, terlebih penggunaan hormon.
*** ini kisah yang terakhir. Namanya Dea, sudah hampir tiga tahun menjalani mahligai rumah tangga dan (juga) sama dengan Dilan dan Ella belum menunjukkan pertanda pertemuan antara sel telur dan sel sperma dalam rahimnya.
Dea sudah melaksanakan serangkaian pemeriksaan, hasilnya baik-baik saja. Sayangnya, sang suami tak mau melakukan hal yang sama. Justru dia mengeluarkan statement yang memilukan bagi sang istri “pokoknya kalau sampai gak punya anak, itu salah kamu!”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar