Kali ciliwung,
Sudah beberapa waktu silam, jauh sebelum aku pandai mengingat. Namun menebar aroma kerinduan, membuatku berkenan hati untuk memutar kembali memori yang tersisa, sudah usang-berdebu dan hampir hilang. Namun ingin kumunculkan lagi. Dimulai dengan sayup-sayup azan magrib yang terdengar mendayu-dayu dikejauhan mengingatkan umatnya. Dalam pekatnya pandangan karena tertutup asap tebal dan mentari yang beranjak pulang, dalam deruan isak tangis keputusasan dan keprihatinan.
Disana ada aku, bercelana pendek dan berkaus kutang, ikut terisak. Kelaparan dan kelelahan.
Tak ingat betul berapa usiaku saat itu, ketika Ibu dan Bapak memutuskan untuk membawaku serta mengadu nasib di Jakarta. Padahal aku lebih menyukai tinggal di desa, disana banyak hal yang membuatku senang meskipun tanpa ibu dan bapak bersamaku. Salah satunya pertandingan bola antar kampung yang selalu menjadi jadwal tetapku saban hari sabtu untuk menontonnya. Pakde Bambang yang selalu setia mengantarku, karena kedekatanku dengannya, akhirnya aku memanggilnya Bapak. Bagaimana tidak dekat, dia memperlakukanku layaknya anaknya sendiri, dari mulai makan hingga menyeboki saat berak. Bahkan saat pernikahannya aku merajuk habis-habisan, mengamuk sejadi-jadinya, karena tidak rela “Bapakku” akan diambil orang. Untuk meredakan tangisanku yang memekakkan telinga, akhirnya aku diminta untuk ikut duduk di pelaminan, berada di tengah-tengah antara Pakde Bambang dan Istrinya. Sehingga ada beberapa tamu undangan yang menyangka Pakde Bambang seorang duda :-P
Selain karena aku merupakan anak pertama, pun juga dikarenakan aku tidak berkenan memanggil ibu dan bapak kepada orangtuaku saat mereka mengunjungiku dari Jakarta, melainkan memanggil dengan sebutan Mbak dan Mas, menyebabkan mereka semakin mantap membawaku serta ke Jakarta.
Pada awalnya, aku tak kerasan tinggal di Jakarta. Kerjaanku saban harinya hanya menangis sekencang-kencangnya dan memohon untuk dipulangkan ke desa. Dan tangisku akan semakin memuncak apabila hari sabtu tiba, karena hobi menonton bola pupus lantaran jarak yang begitu jauh. Padahal bapakku sudah kerap kali mengajakku menonton acara bola serupa di Jakarta, namun tak juga melegakan hatiku. Inginku hanya satu, pulang ke desa.
Bermain bersama teman-teman sepermainan di sawah, menjelajahi sungai, mengumpulkan kecebong, bermain lumpur, nawu dan mengumpulkan ikan wader sebanyak-banyaknya. Ah.. indahnya hidup di desa. jauh berbeda dengan Jakarta.
***
di Jakarta kami tinggal bersama mbah putri dari ibu. Beliau berjualan di pasar rumput. Sebuah pasar tradional di bilangan manggarai. Simbah memiliki sebuah lapak berukuran tiga kali tiga meter. Rupa dagangannya beragam dari mulai bawang merah hingga ke sayuran, pepak kalau kata orang jawa. Dagangan Simbah selalu laris manis, membuat kualahan ketika dijalankan seorang diri sehingga orangtuaku kala itu membantu usaha dagang simbah.
Untuk istirahat kami tinggal di bantaran sungai Ciliwung, letaknya bersebrangan dengan pasar rumput tempat simbah berdagang. Rumah-rumah disini merupakan bangunan tingkat semi permanen, karena setengahnya hanya kayu saja. Rumah tersusun saling menempel satu dengan yang lainnya. Gang pemisah antar rumah yang berhadapan hanya berjarak dua tubuh orang dewasa. Hal ini membuat antrian panjang setiap jamnya, apalagi bila ditambah anak-anak kecil yang sedang bermain lari-larian.
Tak jauh berbeda dengan yang lainnya, rumahku juga tingkat semi permanen. Tinggi rumah sekitar empat meteran, pada lantai dua hanya berpondasikan kayu-kayu yang kemudian ditututup dengan triplek setebal satu sentimeter. Hal ini membuatku harus berhati-hati saat melangkah, sepelan apapun langkahku pasti akan menimbulkan bunyi menderit yang menakutkan, sungguh khawatir jika roboh tiba-tiba. Namun Ibu tak bosan-bosannya menjelaskan padaku bahwa kekhawatiranku terlalu berlebihan, tapi tetap saja tak mengurangi rasa takutku.
Jarak yang berdekatan antar rumahnya, membuat kami bisa mendengar percakapan yang terjadi di rumah yang bersebelahan apabila mereka sedang terlibat pertengkaran dengan mengeluarkan suara sekencang-kencangnya, atau sedang terbahak-bahak entah karena obrolan yang jenaka atau tontonan televisi.
Dalam ingatanku yang sangat berbatas, susunan rumah terdiri dari dua lorong jalan, di setiap lorongnya terdapat sekitar sepuluh rumah yang saling berhadapan. Sehingga terdapat dua puluh rumah dalam dua lorongnya. Lorong-lorong itu akan menuju pada tanah kosong sebesar lapangan bulu tangkis yang dipagari rumah-rumah penduduk lainnya, jumlahnya sekitar sepuluh rumah. Sedangkan dibalik rumah-rumah tersebut terdapatlah ciliwung.
Pada bantaran sungai daerah bermukimku, dibuatlah tangga yang menjorok ke bawah-anak tangganya berjumlah sekitar lima belas, ini memudahkan penduduk yang ingin berkeperluan dengan ciliwung. Disiapkan pula panggung kecil (cukup untuk sekitar delapan orang dewasa dan lima anak kecil) yang tersusun dari balok-balok kayu untuk memudahkan mencuci atau mandi.
Bila hujan mengguyur daerah kami, maka panggung kecil dan tangga akan leyap dari penglihatan. Tertutup ciliwung yang sedang kepayahan menahan muatan yang berlimpah, yang tak jarang akan memuntahkan muatannya pada dareah pemukiman. Kelak ibuku akan panik mencariku karena leyap ditelan ganasnya ciliwung disaat hujan.
Untuk kepentingan berak, telah disedikan pula sebuah panggung yang terdiri dari tiga bilik triplek berbetuk bujur sangkar dengan lubang pada tengah-tengahnya. Jarak antar bilik sekitar satu tubuh orang dewasa, dan tingginya hanya sedada orang dewasa ketika berjongkok. Kondisi ini membuat para pengguna kakus bisa menikmati sensasi pengeluaran hasil ekskresi sambil mengobrol dengan tetangga sebelah kakusnya. Guna keperluan cebok, para pemakai kakus biasanya membawa air sendiri dalam ember atau jikalau sudah kebelet dan tak sempat membawa ember biasanya mereka membersihkan anus yang masih belepotan di panggung guna mandi, karena toh hasil ekskresi itu tak butuh untuk disentor, karena arus air akan membawanya pergi dengan sendirinya.
Letak kakus ini hanya berjarak sekitar sepuluh langkah orang dewasa dari tempat mandi. Sehingga suasana saat mandi atau mencuci sangatlah meriah, bukan hanya karena celotehan yang sahut menyahut tapi karena sampah yang berseliweran juga hasil ekskresi yang mengapung-ngapung pasrah mengikuti aliran sungai.
***
sebagai pemula, aku cenderung murung. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama simbah di pasar (maklum beliau sangat memanjakan aku, pada beliaulah aku selalu meminta perlindungan tiap kali dimarahi bapak atau ibu). Tempat favoritku adalah kotak uang simbah yang terbuat dari kayu jati berukuran tiga puluh kali tiga puluh sentimeter. Disanalah aku duduk bagaikan putri raja dengan tangan yang selalu terlipat di depan dada, siapapun yang berkebutuhan untuk memasukkan atau mengambil uang harus dengan persetujuanku. Namun bila aku berkebutuhan dengan uang (berapapun jumlahnya) tak perlu meminta persetujuan siapapun, karena simbah tak pernah melarangku dan selalu mengamini berapapun yang kuambil asalkan jelas hendak dibuat apa.
Yang demikian itu sering membuat ibuku marah, baginya tak baik bagi anak kecil apabila terlalu dimanja dan selalu dituruti apa maunya. Alhasil ibu selalu mencubitku bila aku kelewatan sering megambil uang simbah untuk jajan, tentu saja hukuman itu dilakukan saat simbah sedang tidak di tempat atau aku akan menangis histeris sampai sesegukan untuk meminta perlindungan simbah, tujuannya jelas-agar ibu dimarahi simbah!hehehe
Kebaikan simbah yang dinilai berlebihan terhadapku ternyata telah mengundang iri bagi saudara sepupuku yang lain. Akhirnya ibu melarangku terlalu sering pergi ke pasar. Juga melarangku duduk di kotak uang simbah.
Alhasil aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah, ini membuatku mengenal lebih dalam tempat tinggalku sekarang, bantaran ciliwung.
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar