Dering telphon memanggil-manggil tak sabaran
Seakan memberi tahu bahwa ada keadaan yang mendesak
Harus segera diangkat!
Dengan setengah berlari kuangkat gagang telphon,
dan sedikit ngos-ngosan menyapa ramah penelphon.
Sapaan belum tuntas keluar dari mulutku,
Namun sudah dikalahkan dengan tangis keras diseberang sana.
Diam…diam…
Aku hanya bisa berdiam diri,
Menyumbat mulutku agar tak dulu bersuara
Meredam segala keingintahuan yang meledak-ledak
Ingin segera diberitahu, tentang air mata yang sedang tumpah
kuberi kesempatan pada galau hati yang sedang membuncah di seberang sana
Agar semuanya lebur dalam air mata
Hingga akhirnya mereda dengan sendirinya
Lalu samar-samar, serak suara mulai terdengar
“aku gemetar saban hari, memegangi bagian rahimku. Tak kunjung berisi. Sudah berkali kami bercinta, dengan segala posisi yang ada-bahkan dengan ciptaan kami sendiri, namun tak juga berhasil. Sudah tak kupedulikan apakah aku mencapai orgasme ataupun tidak, yang kuharapkan hanya satu- rahimku segera berisi janin”
diam sejenak, mengambil nafas panjang
“keringat dingin terus menetes layaknya keran yang bocor saja, tiap kali orang bertanya tentang gua garbaku! Rasanya ingin berteriak, berhenti mencampuri urusan vagina dan rahimku. Aku tersiksa!”
kami mati dalam kata,
aku masih bimbang ingin menanggapi
hening
lalu, kembali terisak
“akupun ingin segera menimang anak, menetekinya dengan dadaku, memeluknya hingga kami terlelap bersama, menyanyikan lagu penuh cinta untuknya. Akupun ingin……….
Tapi bukannya hamil, malah mendapat serangan bertubi-tubi dari tamu tak diundang. Tahu sendirilah kau, bagaimana bila tubuh sedang lelah dan pikiran terlalu banyak yang diurusi. Maka virus itu sekoyong-koyong datang seenak udelnya sendiri. Merobohkan tubuhku, menguasai keseimbangan kepala. Memaksaku rebah tak berdaya. Semakin malu aku pada laki ku. Diriku ini tak lebih dari seonggok daging penyakitan yang tak mampu berproduksi, menyusahkan saja!”
Lalu hardiknya mengagetkanku yang turut larut dalam airmatanya
“hei… apa aku sedang berbicara dengan dinding? Begitu dingin, tak ada suara-tak ada tanggapan?”
gagap aku menjawab
“bukan begitu kawan, aku hanya tak ingin merusak ceritamu, biarlah kesuraman itu mengalir dalam kata-katamu hingga tak mengedap dalam hati, supaya lega pada akhirnya dan kau bisa menikmati lagi kesegaran oksigen pada tiap tarikan nafasnya.”
Kutarik nafas panjang, dan meneruskan
“Mengapa begitu kau ambil pusing apa yang orang kata, tak ada guna. Biarlah semua berjalan sendiri pada porosnya, tak usah diperdebatkan dalam pikiranmu. Kita ini bukan hanya sekedar alat reproduksi yang sekali bertemu sperma akan langsung segera berproduksi. Hamil itu masalah waktu, tak usah diperkarakan lagi”
“tapi aku malu, pada laki ku dan keluarganya”
“hey… menikah bukan hanya sekedar beranak-pinak, kuatkan hatimu!”
“tapi aku bisa hamil, kan?”
“iya… bisa!”
“kamu yakin?”
“yakin!”
“temani aku terus ya”
“selalu…. Sudah istirahat, jangan buat virus-virus itu makin merajai tubuhmu,”
“hehehe… tapi aku pasti bisa hamil kan?”
“bisa… bisa hamil, pasti!”
“katakan sekali lagi”
“kamu pasti bisa hamil!”
“iya.. aku pasti bisa hamil. Ini hanya masalah waktu saja”
Saya membuat tulisan ini pada 25 januari 2011 di Jakarta, tentang sahabat saya yang kebetulan senasib dengan saya (sama-sama terinfeksi CMV dan rubella, kebetulan dirinya juga terkena toksoplasma). Dirinya tak henti-hentinya menyiksa pikirannya sendiri tentang kehadiran janin dalam rahimnya, hal ini membuat tubuhnya tinggal berselimut kulit saja karena dagingnya habis dimakan tumpukan pikiran.
Namun, kabar gembira itu datanglah lewat pesan singkat di Handphone, penantian panjangnya yang hampir satu setengah tahun ini berujung pada dua garis merah di test pack.
Selamat untukmu kawan,.
Semoga lancar
Yogyakarta, 17 nopember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar