Selasa, 08 Oktober 2013

temanku difable

Jika beberapa bulan yang lalu, gadis cilik masih terkungkung dalam zona nyamannya saat di sekolah, maka lambat laun dia mulai membongkarnya dan mulai berbaur. Meski masih pilih-pilih teman, namun sudah kemajuan yang perlu diapresiasi. Bahkan di rumah pun dia sudah mau bermain sendiri, kebiasaannya mengamati teman dari kejauhan pun sudah tak ada, tak jarang gadis cilik yang berkunjung ke rumah temannya dan baru pulang jika adzan magrib akan tiba.
Kelekatannya dengan orang dewasapun mulai berkurang, dia sudah menemukan kenyamanan dan kepercayaan diri saat bermain bersama teman-temannya tanpa pengawasan orang dewasa. Seringkali aku geli saat mendengarkan percakapannya dengan teman sebayanya. Anak sekecil itupun punya cara yang unik dalam mengekspresikan diri ketika berbincang dengan temannya. Biasanya aku tak ikut serta saat teman-temannya berkunjung ke rumah, hanya meyapa dan membiarkan mereka bermain sesukanya.
***
sore itu, sebelum adzan magrib berkumandang gadis cilik pulang dengan membawa pertanyaan. Wajahnya nampak serius dan menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.
“bunda, kenapa mas ical tidak bisa berbicara dengan jelas, saat ku ajak bicara juga tidak menjawab?”
Aku menghampirinya, lalu duduk berhadapan dengannya. Jelas bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab karena aku harus menggunakan kata yang sesederhana mungkin agar mampu dipahami oleh gadis cilik.
“kita terlahir berbeda-beda, nak. Ada yang terlahir dengan mata, telinga, tangan dan kaki yang lengkap dan bisa berfungsi dengan baik. Namun sebagian yang lainnya terlahir dengan mata yang mungkin tidak bisa digunakan untuk melihat, telinga yang mungkin tidak baik dalam mendengar, tangan dan kaki yang mungkin tidak ada dua- mungkin hanya satu atau tidak ada sama sekali. Nah mas Ical terlahir dengan telinga yang tidak bisa mendengar dengan baik, karena tidak bisa mendengar dengan baik maka dia tidak bisa berbicara dengan baik”
“kenapa harus berbeda?”
“supaya kita bisa saling menyayangi dan menghargai”
***
Kami mengajarinya memanggil teman-teman istimewa dengan kata difable yang dalam singkatan bahasa inggris berarti different ability people. Sebenarnya itu merupakan kata yang diusung oleh para aktivis gerakan penyadang cacat untuk mengganti istilah penyadang cacat . yang didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda, sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan.
Pada awalnya, aku dan lelakiku berfikir bahwa penjelasan yang kami berikan bisa jadi rumit untuk dipahami anak seusia tiga tahun. Namun diluar dugaan, gadis cilik mampu memahaminya dengan baik. Selepas kami menjelaskan tentang apa itu difable dan kondisi mas Ical, dia justru makin sabar saat bermain dengan mas ical, mencoba memahami ucapan atau instruksi yang diberikan oleh mas ical. Bahkan gadis cilik seringkali memperjelas kata-kata yang diucapkan untuk mas ical dengan suara yang lebih kencang, atau dia akan menepuk pundak mas ical saat dirasa mas ical tak juga mengikuti instruksi gadis cilik saat bermain.
Untuk menambah pengetahuan gadis cilik tentang difable, lelakiku mencarikan banyak gambar anak-anak yang berkaitan dengan difable. Tentu cericaunya makin banyak saja, karena tiap gambar memantiknya untuk bertanya.
Kami berusaha mengajarinya untuk menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupannya, mengasihi sesama tanpa merendahkan dan membedakan.
***
Tapi tentu saja mengerti apa itu difable bukan berarti tidak berkonflik, namanya juga anak-anak :).
Seperti malam itu, Gadis cilik meminta untuk shalat tarawih di Mushala, tentu bukan tanpa alasan, dia ingin bermain lagi dengan Mas Ical. Maka untuk mencegahnya bermain lari-larian atau bernyanyi lagu ciptaannya sendiri dengan suara yang nyaring, maka sebuah buku gambar lengkap dengan pinsil warnanya ikut kubawa serta.
Beberapa menit berlalu dengan aman dan tenang, aku pun bisa shalat dengan penuh kekhusyuan. Namun ternyata tak bertahan lama, saat shelo merasa tak terima pinsil warna yang tengah digunakannya tiba-tiba direbut paksa oleh mas Ical. Bagi gadis cilik haram hukumnya merebut dengan paksa, karena jika diminta baik-baik dia pasti akan meminjamkan. Maka adu cekcok terjadi, namun jelas mas ical tak bisa memahami dengan jelas maksud gadis cilik-begitupun sebaliknya. Dan tarik-menarik pinsil warna pun tak terelakkan, lalu berakhir dengan pecahnya tangis dari kedua belah pihak. Hehehehe
***
Penuh cinta, Bunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar