Selasa, 25 Oktober 2011

mantra

ini tahun ketiga sejak kami memutuskan untuk menikah dan tinggal bersama, juga merupakan tahun yang cukup berat bagiku. Banyak ruang waktu untuk bersama yang hilang, banyak ruang romantisme yang raib karena pekerjaan yang menumpuk. Bahkan hanya untuk menikmati secangkir teh hangat di depan beranda rumah sambil menikmati malam gemintang dengan obrolan ringan pun begitu sulit kudapatkan. Berada dalam kondisi demikian membuat saya merasa sangat kesepian, meski hampir tiap hari saya juga berada di luar rumah dan bertemu banyak orang. Keramaian itu tak mampu mengikis kerinduanku padanya, karena tak ada yang lain yang lebih kuharapkan, selain matanya yang menatap padaku saat ku sedang bercerita, telinganya yang mendengar dengan baik-menyimak tiap kata yang terlontar dari mulutku, senyumannya, tawanya yang liar, candanya yang menyebalkan namun selalu membuatku terpingkal, yah…. Semua yang ada padanya adalah satu yang kuinginkan, bukan yang lain.
Setiap yang dilakukannya, tentulah kutahu-meski belum sedetail yang kuharapkan. Semua berjalan dengan proses kompromi dan negosiasi dan menghasilkan kesepakatan bersama, namun tetaplah sesekali saya merasa merana, sesekali saya berairmata, sesekali saya berkeberatan, sesekali saya merasa diabaikan, bagi saya ini manusiawi.
Lalu banyak orang menjadi pandai menilai sebuah bentuk keluarga yang layak, pandai mencerca tiap kelemahanan yang nampak dari keluarga kami dengan mengatakan tidak ideal, akh… betapa pandai orang melakukan kritik terhadap sosialnya namun tak mampu melakukan kritik terhadap diri mereka sendiri. ironis! Tahukah kawan, wacana tak bisa diterapkan secara instan dalam realita. Wacana adalah ruh yang tak hanya bergemuruh dalam pikiran, yang sempurna diucapkan dalam kata, namun wacana seharusnya menyatu dengan raga, berjalan beriringan dalam kata dan perbuatan. Dan pencapaiannya adalah sebuah proses, yang keberhasilannya adalah hasil kerjasama kedua belah pihak. Tiap pelakunya akan memiliki bentuk yang tak serupa.
*** Diantara riuhnya orang beropini, diantara banyaknya ruang kosong menganga antara kami. Saya tertegun sendirian, mencari dimana cinta berada- karena kerinduan ini begitu membakar hati dan tak mau padam. Cara meredamnya adalah dengan mengais kisah lalu, kisah antara kita yang penuh cinta, hanya kau dan aku.
Aku terbaring pasrah di atas meja persalinan, sudah siap dengan busana operasi-tangan kiri terpasang infus dan saluran kencing telah dipasangi kateter. Siap menunggu giliran, pukul Sembilan malam.
Kau datang padaku dengan wajah sendu bulan separuh, terduduk lunglai disampingku. Jari jemari kita saling terpaut, kau menggamit erat, mengelus lembut rambutku, mengecup mesra pada kening. lalu mantra itu terlapalkan, dimulai dari matamu yang berbinar menatap jauh ke dalam mataku, lanjut jatuh dalam deraian air mata. akupun tak kuasa melihat linangan air mata itu, pertahanan hatiku runtuh juga setelah beberapa jam ini terlihat tegar menghadapi ketegangan yang tak tahu apa ujungnya. Tuhan…. Ini seperti pertemuan kami yang terakhir, betapa tipisnya membran kehidupan dan kematian. Sebentar lagi aku akan mempertaruhkan nyawa untuk sebuah cinta yang kukandung empat puluh minggu, cinta antara aku dan dia.
Kami larut dalam air mata.
“aku mencintaimu, aku mencintaimu” Kau tak henti menciumi tanganku. Hasil urin yang menyatakan aku terkena preklamsia merupakan pukulan yang berat, terlebih air ketuban sudah menipis. Yah… saya rupanya sedang berada di pertengahan antara kehidupan dan kematian.
Disaat seperti ini, kau bernilai cinta yang tak terkira, membuatku lupa pada banyak hal yang menyebalkan pada dirimu. Bisa kurasakan cinta itu begitu bulat tersuguhkan untukku.
Mantra cinta membiusku, mengalir kesekujur tubuh, menyampaikan kekuatannya agar kami masih dipertemukan kembali.
*** begitu caraku untuk mencari dimana cintamu berada, mengulang kisah cinta antara kita-guna damaikan hati yang sepi merana. Aku yang ekspresif dan kau yang cenderung pendiam dalam berekspresi. Bertolak belakang.
aku tak tahu sampai kapan cinta ini akan bergulir. Yang kutahu, bagaimana caranya kami bisa terus berproses bersama untuk mencapai keutuhannya, mencari pola terbaik bagi aku, dia dan anak kami. Jelas ini bukan proses yang mudah, tapi proses yang melelahkan dan panjang.
Jika kiranya Tuhan mengijinkan,.
Ijinkan kami saling mencintai hingga tutup usia
Yogyakarta, 25 oktober 2011
Untuk tiga tahun kita, teman hidupku yang terkasih : Gama Triono

2 komentar:

  1. semua itu bersiklus, bunda. tidak terkecuali cinta (kalian).
    jika ini adalah secuil siklus selamanya kalian, maka akan tetap indah.
    :)

    *hugs*

    BalasHapus
  2. hahaha... betul tante, tentu tak ada yang sempurna dan tak ada pasangan yang benar2 "cocok", semua bersiklus dan aku bersyukur kami masih menghargai sebuah proses:-)

    BalasHapus