Jumat, 16 September 2011

empat belas

Rahimku empat belas tahun,
Masih belia..
Baru saja si merah hadir,
belumlah tertib tiap bulan bertandangnya

Rahimku empat belas tahun,
Belum cukup kokoh bangunannya,
Masihlah rapuh

Rahimku empat belas tahun,
Bertemulah sel telurku dengan sperma yang begitu beringas,
Yang sudah paham hendak kemana mencari sel telur yang baru saja menetas,
Bertemulah pada tubapalopi,

Ini peraduan bermandi peluh, meski tak pernah kutahu rasa orgasme-namun lelah ini begitu mengasikkan terlebih dengan uang digenggaman.
Perutku takkan lapar esok hari, tentu perut emak, bapak, ujang adikku dan si bungsu tak lagi trepes barang sejenak.
Semakin banyak peraduan, makin teballah rupiah dalam dompetku.
Tapi..mana kutahu, bila pertemuan di tubapalopi itu akan begini jadinya. Kupikir si merah sedang absen saja seperti biasa, namun ternyata…
Akh… emak, apes benar nasibku ini-baru kukatakan kemarin hari bahwa aku ingin sekolah lagi seperti kawan yang lain, tunggu hingga cukup uang.
Tapi sekarang..
Mari mak, mari dengar sini-ada detak dalam rahimku!

Akupun mengandung…
Pada saat rahimku empat belas tahun,
Tak tahu sperma siapa yang punya, banyak yang singgah.
Tak tahulah aku!

Pernikahan digelar, karena ijab harus diikrarkan-dibanding terusir dari tempat tinggal.
berundinglah mereka para pemilik sperma yang pernah buang hajat dalam vaginaku.
Lalu, menikahlah aku dengan dia-lelaki yang namanya keluar dari gelas kocokan di meja perundingan.

Rahimku empat belas tahun,
Mulai kontraksi, namun aku justru kejang di meja persalinan,
sedang jabang bayi tak juga keluar
Busa telah penuhi mulutku,
Antara hidup dan mati.
Pada meja operasilah, akhirnya nafasku kembali teratur-kejangpun mengendur.

Rahimku empat belas tahun,
Kini, Bayiku dalam perawatan-keracunan air ketuban.
Emak yang rajin menengoknya di rumah sakit, aku sendiri enggan-lebih memilih bermain dengan si bungsu di rumah.

Rahimku empat belas tahun,
Kujelajahi wajah mungil yang sedang lelap dihadapanku,
Benarkah aku telah beranak?
Linglung aku dibuatnya…

Rahimku empat belas tahun,
Emak yang merawat ijah anakku,
Aku lebih senang bermain dengan kawan, juga sesekali bermain dengan sperma.

Anakku tak tumbuh sebagaimana layaknya,
Bahkan pihak puskesmaspun mendatanya sebagai penderita gizi buruk.
Karenanya, supplay susu tak pernah telat tiap bulannya.
Namun itu tak cukup membuatnya bisa tumbuh seperti teman-teman sebaya.
Hingga usianya yang hampir setahun, belumlah mampu untuk tengkurap apalagi duduk dan berdiri.

Ijah anakku sayang, anak yang dikandung rahim empat belas tahun.
Tak doyan dia menetek dadaku, padahal banyak lelaki rakus menetek padaku.
Ijah…ijah, belumlah cukup waktu untuk pahami keberadaanmu
Belum cukup daya merawatmu,
Kini kau justru pergi berpulang
Kau usaikan nafas pada saat petang menjelang,
Padahal bulan depan genap satu tahun usiamu.

Ijahku sayang, ijahku malang
Selamat tidur panjang, nak.

Jakarta, 06 september 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar