Kamis, 05 Januari 2012

saya (pun) mengalaminya

Tulisan ini saya buat sekitar tiga tahun yang lalu, bersamaan dengan kehamilan saya yang memasuki bulan ketiga. Wow… ini kesempatan yang luar biasa, menjadi salah satu penulis dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh PKBI DIY yang bertajuk “Memecah Kesenyapan. Suara-suara perempuan yang tak terucap”.
Sebuah buku yang ditulis oleh enam orang penulis yang bercerita tentang pengalaman para perempuan yang secara sadar dan tanpa paksaan memutuskan untuk tidak melanjutkan KTD (kehamilan tidak diinginkan).
***
Senja tiba saat saya berkesempatan berjumpa dengan narasumber tulisan saya yang kebetulan merupakan seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahunan dengan aksen Sumatra barat yang khas. Rambut hitam ikal terurai sampai sebahu dalam balutan daster merah marun.
Diteras rumahnya, Bu Dina (bukan nama sebenarnya) membuka warung dengan aneka masakan padang yang menggugah selera. Pembelinya tak henti-hentinya berdatangan, satu usai yang yang lain akan datang lagi silih berganti. Membuatku sedikit kesusahan untuk berbicang nyaman dengannya-maklumlah pembicaraan ini menyentuh pada soal keputusannya untuk tidak melanjutkan KTD yang dialaminya. volume suara kuusahakan selirih mungkin, cukuplah ditangkap Ibu Dina-karena masih ada beberapa pembeli yang asyik menyantap makanannya.
Banyak hal yang kudapatkan darinya, tentang demam malarianya, hipertensi, preklamsia, cytotek, oxitoxin, hingga keputusannya untuk tidak melanjutkan KTD. Semua teramu menjadi sebuah keberanian yang tak begitu saja turun dari langit.
***
Lepas dari Bu Dina dalam kemelut hatinya saat mengambil keputusan untuk mengakhiri KTD, aku seperti bercermin dengan diri sendiri. saat hasil testpack yang kulakukan hingga tiga kali dengan beragam merek tespack dari yang termurah hingga termahal dimana tetap saja menunjukkan dua garis merah yang tebal. membuat emosiku sangat tak stabil, CMV (citomegalo virus) yang entah sedang berada dalam kadar berapa dalam darahku membuatku bias dalam merasakan hal membahagiakan ini, sebuah anugrah terindah yang diciptakan Tuhan dalam gua garbaku. Mulanya aku hanya senyum-senyum dihadapan cermin sambil mengoyang2kan testpack, lanjut dengan tawa tak percaya sambil menari-nari tak beraturan, dan diakhiri dalam tangis yang menyayat hati. Tuhan, begini rasanya jika banyak rasa sedang bermain dalam hati, bagai bisul yang tak kunjung matang.
Aku bimbang, jelas ini sebuah kenyataan yang nyaris enggan aku hanyalkan karena takut tak terwujud, namun ketika dihadapkan pada semua realita yang tak lagi mimpi- justru membuatku meriding. Jikalau virus itu sedang merajai tubuhku seenak udelnya sendiri pastinya akan mempengaruhi kualitas bakal anakku.
Entah akan mengalami keguguran, meninggal dalam kandungan atau terlahir tidak seperti orang kebanyakan. Aku menangis sejadinya-jadinya membanyangkannya, meski baru lima minggu umurnya saat kusadar akan hadirnya namun sudah begitu cinta aku padanya, tak sabar ingin memeluk dan menimangnya.
Namun, ada sebuah kenyataan lain yang tak bisa aku hempaskan begitu saja-kenyataan pahit tentang CMV dalam tubuhku.
dalam hangat pelukan kekasih, seakan meredakan gejolak hati yang tak jelas arahnya, dengan sadar dan tanpa paksaan aku memutuskan untuk mengahiri kehamilan jikalau hasil lab menyatakan jumlah virusnya dalam kadar yang berbahaya bagi janinku. Sungguh keputusan yang sulit, meskipun dalam kasusku bukan merupakan KTD.
***
hasil lab menunjukkan hal yang luar biasa menakjubkan, kehamilanku dapat diteruskan. Sujud Syukur padamu ya Rabb….
Minggu demi minggu berlalu dengan penuh gairah, semakin hari makin dapat kurasakan kehadirannya-hentakkan kakinya, detak jantungnya-saat cegukannya-pergerakan tubuhnya-semuanya adalah surga ragawi yang indah.
Hingga akhirnya minggu ke tiga puluh enam tiba dan kakiku mendadak membesar tiga kali lipat besarnya-saat dipencet maka tak bisa timbul lagi layaknya orang yang terkena beri-beri. Tekanan darah pun naik-naik ke puncak gunung hingga mencapai 200/100. Benar-benar tersiksa, untuk buang kecilpun terpaksa kulakukan berdiri karena kaki tak bisa ditekuk sama sekali, berjalan beberapa langkah saja sudah terasa melelahkan dan kesemutan, shalat pun kulakukan sambil rebahan. Yup… aku terkena Preklamsia, bagai petir di siang hari kenyataan ini semakin menghimpit hatiku di minggu-minggu akhir jelang kelahiran. Ketakutan akan kehilangan anakku di penghujung penantian terasa begitu mengoyak batinku, tak henti-hentinya mengharapkan keajaiban.
Untuk mengurangi resiko baik pada ibu dan bayi maka Caesar adalah pilihan yang tepat, karena dikhawatirkan kejang saat sedang mengejan dan bisa berakibat kematian baik pada ibu, bayi atau keduanya.
Lalu saya teringat dengan Ibu Dina, narasumber tulisan yang saya beri judul “HIPERTENSI dan MALARIA”, saya menuliskan tentang preklamsi yang dialaminya dan ternyata saya pun mengalaminya.
yogyakarta, 5 januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar