Kamis, 10 November 2011

anak kali, anak ciliwung (part II, end)

Uut namanya, gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus berwarna merah jagung (entah karena terbakar matahari atau kekurangan gizi). Tubuhnya kurus, kulit menutupi tulang-tulangnya yang pelit daging dengan pasrah.Meskipun kami seumur, tapi tinggiku sejengkalan lebih tinggi darinya. Rambutku cepak gaya demi more (selain trend, juga karena rambutku yang keriting lebih berdamai jikalau pendek), kulitku pun sawo matang. Berbeda dengannya tubuhku lebih berisi, sekel kata ibuku kiasan bagi tubuh yang kecil namun berisi dan padat sehingga tak terlihat gemuk.
Uut adalah teman pertamaku di bantaran ciliwung.Dia selalu mengikuti apapun tingkahku, kemanapun aku pergi-dia selalu turut di belakangku.Layaknya bayangan yang saling tak terpisahkan.Ocehanku selalu didengar bagaikan kebenaran yang hakiki, padahal lebih sering hanya hayalanku belaka.Tapi dia mendengarkanku dengan seksama dan penuh perhatian.Baginya kata-kataku adalah dongeng yang mendamaikan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa dia tetap betah bermain denganku, meski terkadang bila judesku sedang kumat, aku akan membentak-betaknya seenak udelku sendiri.
Misalnya :jika dia hendak mengajakku bermain, namun hatiku sedang tak enak (tanpa alasan yang jelas). Maka aku tak akan menanggapi panggilannya, padahal dia sudah mengetuk pintu rumah berkali-kali, hingga menempelkan wajahnya di jendela agar bisa melihat langsung ke dalam rumah dan menatap mukaku yang sedang masam.
“genduk…genduk… ayo, main yuk” ajaknya dengan lembut
“arrrgggghhhh……. Jangan sentuh-sentuh kaca rumahku! Jauh-jauh! Ga usah ketok-ketok pintu, aku udah denger dari tadi!” hardikku dengan muka yang semakin masam, sambil memberi isyarat dengan tangan agar dia tak menempelkan wajah dan tangannya pada kaca rumahku.
Setajam apapun ucapan yang kulontarkan, namun uut senantiasa bersamaku, bila samblengku sedang tak kumat.betapa kasih sayangnya diriku padanya. Bila perutku menggunung begitupun dengan dirinya, setiap aneka rasa makanan yang kukecap pasti akan terasa juga hingga ke lidahnya.
***
Siang itu, semua semua orang tengah menikmati waktu rehat siangnya dengan menyantap rakus makan siang yang telah disiapkan oleh pasangan masing-masing di rumah, dilanjutkan dengan merebahkan tubuh dengan malas sambil menikmati pertunjukkan pada televisi.
Berlarian-larianlah aku di lapangan bersama Uut, berkejar-kejaran antara satu dengan yang lainnya, sambil tertawa terbahak karena Uut selalu tak kuasa menandingiku. Namun tawa itu, tak lama lenyap takkala kami terperanjat menyaksikan kabel pada tiang listrik mengeluarkan api yang cukup besar, menjilat-jilat liar kesana kemari seakaan tengah dilanda kelaparan.
Dengan panik kuberteriak sekencang-kencangnya memanggil Ibu untuk mengabarkan, namun yang dipanggil menganggap hanya bualan anak kecil. Hingga akhirnya aku semakin histeris dan orang-orang mulai berkeluaran, penasaran mencari kebenaran atas apa yang kuucapkan. Namun terlambat, karena api telah berubah kian besar dan semakin liar. Ibu yang tersadar bahwa teriakanku bukan bualan, langsung berlari meraihku yang masih kaku dalam tangisan di tengah lapangan lalu menggendongku, bapak terlihat panik berteriak-teriak sambil mengumpulkan barang-barang-begitu pula dengan simbah putri yang tak kalah sibuk sambil menangis histeris. Ibu terus menggendongku sambil menenangkan tangis ketakutanku.Dalam lalu lalang orang yang panik, kulihat Uut diseret ibunya yang tengah menggendong adiknya. Mata kami saling bertemu, dalam genangan air mata. ternyata itu kali terakhir aku berjumpa dengannya, padahal belum sempat kuucapkan maap atas perilakuku yang sering kurang menyenangkan padanya, padahal belum sempat kusampaikan padanya bahwa aku menyanyanginya, lahapan api mendahului semuanya, membakar dan menguburnya menjadi abu.
Akupun berdiri lemah dipingir jalan, melihat dari kejuhan kampungku-rumahku dilahap api.
Lunglai tak berdaya dalam balutan singlet lusuh dan celana pendek.Dalam lelah dan perut keroncongan karena belum sempat terisi.
“bu… aku lapar”
“sabar ya nduk.. ibu gak ada duit, semuanya hangus terbakar”
“aku lapar bu…” tangiskupun pecah, beriringan dengan adzan magrib yang mendayu-dayu.
tentang masa lalu di kali ciliwung, tempat pertama di ibukota yang kupijak. Kini tempatku pernah tinggal telah berubah fungsi menjadi bagian ibukota yang gemerlap. Kemana penduduknya pergi, aku tak tahu..mungkin kali ciliwung juga telah lupa bahwa tubuhku pernah bercinta dengannya beberapa kali bila hujan deras tiba dan menyeret tubuhku dalam pusarannya, kenikmatan yang dipadu dalam ketakutan. kisah itu berakhirlah sudah, bersama api yang lahap menelan semua kenangan.
yogyakarta, 8 november 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar